Menumbuhkan Benih Cinta Kebudayaan Tradisional Indonesia



Wanita Cantik dalam pakaian tradisional Bali

Minggu lalu, tepatnya tanggal 25 April 2013, aku mendapatkan undangan untuk menghadiri pagelaran tari. Pada awalnya, aku tidak pernah menyangka bahwa pagelaran tari itu merupakan pagelaran yang langka dan hanya beberapa kali diselenggarakan di dalam dan luar negeri (hanya 4x). Calonarang itulah judul yang diberikan untuk pagelaran tari tersebut.
Berangkat tanpa mengetahui seberapa penting event apa yang akan kudatangi, untungnya hati kecilku membisikkan untuk menggunakan baju  batik  dan ternyata pagelaran itu merupakan undangan untuk merayakan event anniversary yang ke tigapuluh tahun The Jakarta Post. Well, beautiful surprise!!

Sesampainya di sana, aku langsung disambut oleh alunan bunyi gamelan memainkan musik asli dari Jawa. Uniknya yang memainkan gamelan tersebut bukanlah orang-orang Indonesia. Mereka adalah kelompok orang-orang asing yang sangat mencintai budaya tradisional asli Indonesia dan mau mempelajarinya. 

Wanita Asing memainkan gamelan
Ternganga, melihat determinasi mereka dalam memainkan alat musik yang bahkan tidak pernah kumainkan, aku memulai obrolan ringan dengan seseorang di sampingku. Rupanya, dia adalah fanatis kebudayaan Indonesia. Aku selalu menyiapkan diri untuk menghadapi topik-topik sosial disorder jika menghadapi orang-orang yang intelek, jadi dengan tampang intelek aku memulai topik ringan tentang bule-bule yang memainkan gamelan di hadapan kami.

Menangkap umpan, seseorang di sebelahku langsung  menyindir tentang generasi muda saat ini (fyi dia juga masih muda). Dia berpendapat bahwa saat ini  hanya ada segelintir muda-mudi yang benar-benar peduli pada kebudayaan Indonesia. Nanti, jika negara lain berusaha untuk mengklaimnya, barulah kita berteriak-teriak mengutuk negara tersebut. Generasi sekarang lebih mudah jatuh cinta pada K-pop, hip-hop, dan hot-hot-pop (lah?). 

Aku mengangguk padanya, diam-diam menyetujuinya walaupun tidak sepenuhnya. Terlalu menjustifikasi jika kita memukul-ratakan generasi muda yang menyukai kebarat-baratan ekivalen dengan tidak mencintai kebudayaan dalam negeri. 

Contohnya adalah aku ( *biggrin*). Aku mengakui kalau aku selalu menyukai bunyi-bunyi yang diciptakan oleh gamelan jawa. Sejak pre-school, ayahku yang merupakan gamelan-freak, menyekolahkanku di sanggar tari traditional. Name it..tarian Remo, Legong, Gambyong, Pendet, topeng, lilin, Serimpi dan lain-lainnya sudah pernah kupentaskan di panggung lokal. Namun karena jiwa musikalitasku yang payah, aku tidak pernah tertarik untuk memainkan gamelan. So, dengan bangga aku pamer kepada orang di sebelahku, termasuk pembaca di sini, bahwa aku adalah salah satu generasi muda yang turut melestarikan kebudayaan Indonesia (meskipun past tense). Aku menyukai bunyi piano pada musik Keane tapi juga menyukai musik gamelan. 

Dia bisa, kamu?
Tapi, tunggu dulu,  ternyata ukuran kepercayaan diriku tersebut akan segera meluncur drastis saat aku selesai melihat pagelaran tari itu. Cinta budaya Indonesia yang kuklaim tadi ternyata hanyalah cinta dalam kualitas made in china. 

Masih mengobrol dengan orang di sebelahku, dia bertanya kepadaku apakah aku mengetahui kisah di balik Calonarang, pagelaran tari yang akan kutonton.

Dengan percaya diri aku menjawab tidak tahu, tapi sering mendengar tentangnya (yang terakhir bohong). 

Maka tanpa diminta, dia bercerita tentang kisah rakyat Calonarang. Calonarang merupakan janda yang dipercaya memiliki kekuatan ilmu hitam dan sering menyebarkan teror dan menyebabkan wabah penyakit ke masyarakat setempat. Dia memiliki putri cantik yang bernama Ratna Manggali. Namun karena reputasi buruk Ibunya, Ratna tidak kunjung dipinang oleh laki-laki. 

Raja Airlangga, raja yang berkuasa di kerajaan Daha mengetahui hal tersebut dan  meminta bantuan Empu Baradah untuk menyusun strategi menaklukkan Calonarang. Menerima titah rajanya, Empu Baradah mengirimkan muridnya, Bahula untuk meminang Ratna Manggali. 


Meskipun terkenal dengan kekejamannya, namun dengan hati legawa Calonarang mengizinkan putrinya untuk menikah dengan Bahula dan tidak mengetahui maksud tersembunyi Bahula. 

Tak lama, dengan bantuan Ratna Manggali, Bahula mencuri senjata sakti Calonarang (beberapa percaya berupa buku catatan)  dan membuat Calonarang, yang mengetahui hal tersebut marah besar dan akhirnya tumpahlah perang antara pengikut Calonarang melawan kekuatan Raja Airlangga.

Diadaptasi dalam bentuk tarian, Pasukan dari Empu baradah yang berasal dari tanah jawa disimbolkan dengan tari jawa Bedhoyo, sedangkan pengikut Calonarang yang berasal dari disimbolkan dengan tarian asli Bali, Legong.
 
Saat Calonarang merestui pernikahan putrinya
Setelah mengetahui kisah dibaliknya, aku pergi menonton pagelaran dengan pengetahuan yang meyakinkan dan percaya diri. 
Peran Empu Baradah ditarikan oleh maestro tari Indonesia, Retno Maruti sedangkan peran Calonarang ditarikan oleh Bulantrisna Djelantik, legenda tari dari Bali. Mereka membawa dua kebudayaan dari tempat yang berbeda dan menggabungkan 2 karakter tari yang sangat berbeda. 

Mata Tajam, salah satu ciri khas tarian Bali
Seluruh penari dalam pagelaran tersebut harus diperankan oleh wanita mengingat tari yang dibawakan adalah tari Bedoyo. Tari Bedoyo sendiri terdapat bermacam-macam tergantung dari daerah mana tari tersebut berasal. 

Kedua tari tersebut merupakan tarian yang dianggap cukup sakral, sebelum tarian dimulai,  sesajen-sesajen disiapkan. Ketika masa kebudayaan hindu-budha masuk ke tanah air, tarian merupakan salah satu upacara sakral sebagai persembahan. Setiap tari merupakan hubungan spritiual dengan Sang pencipta. Ketika kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, fungsi tarian berubah menjadi suatu bentuk ekpresi seni untuk menandakan suatu kejadian (membukukannya dalam sejarah).

Tari Bedhoyo sendiri, hingga saat ini masih dilestarikan (dan masih dianggap sakral) terutama oleh kesultanan Jogjakarta (termasuk adipaten di dalamnya). Setiap Raja yang menjabat diwajibkan menciptakan tarian  selama masa pemerintahannya. 

Perang antara pasukan Calonarang dan Empu Baradah

Kebetulan, aku kurang mengetahui sejarah tarian dari Bali. Namun menurut salah satu teman, tarian mengenai Calonarang sendiri masih dianggap sangat sakral. Biasanya, tarian ini sendiri sebagai bukti kesaktian dari penyelenggaranya karena penarinya hampir sebagian besar selalu kesurupan. Jika salah satu penari meninggal, maka sang penyelenggara (atau siapapun yang menjamin terselenggaranya tarian itu) dianggap tidak memiliki cukup kesaktian. Luar Biasa bukan?

Ending dari tarian itupun kembali diserahkan kepada penonton karena hingga saat ini, sebagian besar masyarakat percaya bahwa Calonarang tidak pernah meninggal dalam perang itu. Keberadaannya masih misterius hingga saat ini.

Sebagai penggemar tarian, aku cukup merasa ditampar dengan ketidaktahuanku tentang Calonarang. Samar-samar aku mengingat salah satu buku yang terinspirasi kisah ini, yaitu karya Ayu Utami, Manjali dan Chakrabirawa. Manjali adalah shadow dari Ratna Manggali, Chakrabirawa merupakan senjata dari Calonarang, dan Calonarang sendiri disamarkan menjadi Calwanarang. Yup, like a puzzle for me dan kembali aku merasakan 'terluka' karena tidak mengetahuinya saat membaca buku itu.

Penari Bedhoyo, semua wanita
Sepulangnya dari pagelaran itu, aku tidak bisa untuk tidak merasakan emosional. Untuk penampilan 2 maestro memang tidak dapat dipertanyakan lagi, million thumbs up!
Sudah cukup lama kedua maestro tersebut tidak mengadakan pagelaran tari yang diperankan oleh mereka sendiri, dan bisa melihat mereka perform merupakan keberuntungan bagiku. Yah,  meskipun secara kasat mata team Calonarang (Bulantrisna Dejalenatik)  jauh lebih serentak dalam gerakannya namun overall koreografi, blocking panggungnya sendiri luar biasa.

Sejenak aku mencoba merunut mengapa aku berhenti menari tradisional saat SMA. Ya, sebagai darah remaja saat itu aku lebih menyukai cheerleader (apalagi lagi ngehitsnya film Bring it On). Tapi mengapa aku dengan mudah menelantarkan puluhan tahun latihanku? Well..

Pertanyaan itu yang terus kuulang dalam benakku dan akhirnya aku sadar bahwa saat menari tradisional, aku hanya sekedar menari secantik mungkin. Aku tidak pernah mempelajari sejarah dari kebudayaan itu sehingga aku tidak menyatu dengan apa yang kutarikan. Aku tidak pernah mengetahui maksud sebuah tarian dibuat, aku hanya robot yang meniru guruku tanpa mengetahui alasan mengapa guruku begitu mencintai tarian tradisional.

Bukan aku menyalahkan guruku, namun lebih kepada keapatisanku untuk mencari tahu.  Aku sadar bahwa alasan mengapa begitu mudah kita tidak mencintai budaya adalah karena kita tidak tahu sejarah dibaliknya.
Itulah alasan mengapa museum sangat diperlukan. Bukan untuk tempat pacaran, atau alternatif rekreasi yang terjangkau kantong saat kita butuh hiburan namun tidak punya  terlalu banyak uang. Museum tidak hanya untuk menyampaikan rekaman sejarah, menyimpan bukti sejarah namun untuk menumbuhkan kecintaan kita terhadap asal-asul dimana kita berada di sini. Karena itulah sangat penting sekali peran Museum di sini terutama saat pendidikan di sekolah gagal menumbuhkan kecintaan kita terhadap tanah air dan budaya-budayanya. 

Ulen Sentalun, Jogjakarta adalah salah satu museum yang menurutku berhasil menciptakan interaksi antara pengunjung dengan sejarah yang terekam di sana. Tidak ada diorama, hanya ada satu guide untuk tiap 15 orang  yang kadang terlalu galak namun berhasil menyampaikan secara kronologis sejarah dan kekayaan budaya yang tersimpan di sana. Menurutku, Ullen Sentalun satu-satunya museum yang berhasil menggelitik rasa penasaranku pada kebudayaan kesultanan Jogjakarta, dan perlahan mencintainya.
Puteri Indonesia, duta kebudayaan Indonesia (mind the height difference)
Mungkin, sebagai generasi muda, itulah yang harus kita lakukan. Hal awal untuk melestarikan budaya Indonesia adalah dengan mengetahui sejarahnya terlebih dahulu, kemudian mencintainya. Meskipun kita tidak bisa menarikan sebuah tarian, atau memainkan gamelan namun dengan membagi pengetahuan budaya kita kepada orang lain, dan membuat orang lain merasa ingin tahu tentang budaya, dapat setidaknya menyelamatkan kebudayaan kita dari kepunahan.

Seperti sebuah relic yang ada di museum Ullen Sentalun yang merupakan replika relic di borobudur namun dilambangkan miring, dan akan jatuh. Filosofi yang ingin disampaikan adalah sebuah kebudayaan jika tidak ada yang mau melestarikan, maka perlahan demi perlahan akan miring, hancur dan kemudian punah. Karena itulah kewajiban kita sebagai generasi muda untuuk mencintai kebudayaan negeri kita.

Sejenak, mari kita berhenti terlalu memikirkan inovasi-inovasi yang akan membuat kita terlihat hebat di masa depan, mulai menengok ke belakang, menggali alasan mengapa kita di sini, bagaimana kita sampai di sini dan mencintai apa yang kita miliki sampai saat ini.

Seorang Bocah memainkan Kolintang, alat musik dari Minahasa saat Car Free Day di Monas

Jangan tunggu sampai negara lain mengklaim kebudayaan kita untuk membuat kita berteriak memperjuangkan kebudayaan yang tidak pernah sunguh-sungguh kita cintai.  Jangan sampe kita sebagai generasi muda memilki cinta yang berkualitas made in china kepada kebudayaan kita sendiri. Cinta yang asli tapi palsu ;p !
 
Well, thats all my garbage!

p.s. kisah tentang Calonarang juga pernah diangkat oleh penulis legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, The King, the Witch and The Priest (Dongen Calon Arang). 
Selengkapnya mengenai Calonarang di sini.

Comments

Popular Posts