Attiring Attitude



Di tahun 2011 (aku lupa tanggal tepatnya namun sekitar bulan September) , aku membaca sebuah artikel yang kutemukan di sebuah harian nasional yang sering dibagikan gratis bagi penumpang salah satu maskapai penerbangan milik BUMN. Artikelnya menarik, bukan ditulis oleh seorang ahli atau kolumnis terkenal, namun ditulis oleh seorang warga Negara Indonesia yang peduli dengan keselamatan penumpang ketika terbang menggunakan dengan pesawat komersil. Menariknya, artikel setengah ‘curhat’ itu melihat tanggung jawab penumpang dalam turut menciptakan penerbangan yang ‘
Di halaman yang lain, aku juga menemukan kolom menggelitik mengenai pesatnya pertumbuhan penumpang pesawat di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Either harga pesawat yang kini lebih terjangkau, atau kemampuan financial masyarakat yang kini telah meningkat pesat membuat tumbuh suburnya maskapai penerbangan berbasis low-cost-carrier, dan berimplikasi pada membludaknya penumpang pesawat. Airport I doesn’t belong to mid-upper class anymore. Akhir-akhir ini kalau lebih jeli, kita bisa merasakan sesaknya bandara sama dengan sesaknya terminal Bungurasih-Surabaya (terutama terminal 1A-B Bandara Soetta di weekend).
Fakta yang menggembirakan tentunya jika kini transportasi mahal itu sudah bisa dirangkul oleh rakyat.
Namun, ada yang menarik dari fenomena itu, dan jika boleh aku mengaitkan dengan paragraph 1 tentang keselamatan penumpang (akan ketahuan nantinya korelasi nya dimana). Tidak bermaksud nyinyir, tapi cerita seorang teman pagi ini mengingatkanku pada kejadian-kejadian ‘funny yet sorry’ di pesawat.
Ceritanya, temanku pada long weekend kemarin pergi ke negeri seberang menggunakan maskapai nasional yang terkenal dengan predikat tukang delay-nya (ok, calm down..aku tidak akan menjelekkan satu maskapai_hanya mencoba mendeskripsikan fenomena). Ketika berangkat everything is fine, namun ketika pulang di hari Minggu sore, kejadian kurang menyenangkan terjadi.
Feeling temanku sudah buruk ketika melihat betapa membludaknya penumpang asli Indonesia yang akan menggunakan maskapai tersebut. Ketika antri masuk pesawat, dia melihat begitu banyak barang yang dibawa penumpang ke kabin meskipun barang-barang tersebut ukuran dan jumlahnya yang melebihi batas yang diijinkan untuk dibawa ke kabin. Firasatnya benar, ruang penyimpan barang full, satu orang penumpang kadang membawa 3 jenis tas (ala belanja di Mangga dua atau tenabang), dan alhasil penumpang yang terakhir masuk tidak kebagian kabin. Pramugari yang masih belia terlihat panic dan tidak responsive melihat kegaduhan penumpang yang tidak kebagian tempat di kabin. Alhasil, pramugari terpaksa memaksa beberapa penumpang terakhir menaruh barang mereka di bagasi. Hal ini menyebabkan another long waiting time. Kesalahan pertama.
Terbang dengan setengah damai karena banyak behavior penumpang yang aneh (muntah-muntah, batuk-batuk, berisik, dan another behavior like a boss), akhirnya pilot mengumumkan akan landing (pramugari sudah berada posisi prepare to landing) di bandara soetta. Tiba-tiba, ajaibnya sebuah bunyi handphone berdering nyaring. Dengan tenang, seorang penumpang laki-laki setengah baya menatap monitor layar handphone, kemudian berbicara sejenak di telpon dan menutupnya. How Great it is!!!!! Second Mistake!
Ceritanya, 11-12 dengan yang aku rasakan ketika aku terbang ke Indonesia menggunakan maskapai asing dimana 95% penumpangnya orang Indonesia yang baru pulang dari belanja dan meng-occupied cabin dengan barang bawaan mereka yang gila-gilaan. Ironisnya, mereka bisa belanja banyak, tapi tidak bisa membayar lebih untuk membeli biaya bagasi!!
Terkait dengan kesalahan pertama, terkait barang bawaan yang dibawa ke Cabin..As prejudice,aku berfikir bahwa penumpang malas menaruh barang mereka di bagasi karena nantinya akan takes time menunggu bagasi loading, meminimalisasi risk untuk kehilangan barang (karena kadang barang kita hilang di dalam tas, meski tas telah terkunci).But my negative thinking thought that…they just don’t want spend more money to pay baggage fee. Sebuah resiko dari low-cost carrier yang berhadapan dengan mid-low passanger yang menghitung cost and benefit but ignore the risk.
Ada satu resiko yang tidak disadari dari memenuhi ruang cabin dalam pesawat. Jika terjadi turbulensi yang kuat, pintu kabin yang mudah terbuka_akan memuntahkan barang ke penumpang yang berada di bawah kabin tersebut. Kepala siapa yang terekspose risk tertimpa barang???better the owner.
Kesalahan kedua, sebuah telpon ketika pesawat landing. Menurutku, it is fatal mistake. Admit it, kita sering meremehkan peringatan kru pesawat untuk tidak menyalakan handphone sebelum pesawat berhenti dengan sempurna. Right after landing, kita dengan buru-buru menyalakan handphone seakan seorang presiden akan menelpon handphone kita atau seorang menteri pertahanan yang mengharuskan handphone menyala selama 24 jam karena terjadi kondisi luar biasa. Menurut pribadiku, tidak satupun alasan yang dapat membenarkan tindakan kita untuk menyalakan handphone di saat itu dan membahayakan nyawa puluhan orang yang ada di pesawat. (Kecuali, jika memang kita menunggu telpon dari Tuhan, yang memanggil kita menghadap-Nya melalui kecelakaan pesawat). I think no matter who you are, how important your call, just put it behind the risk you create for hundreds people in there.
Minimnya awareness penumpang untuk menjaga keselamatan di dalam pesawat dengan menaati peraturan yang telah diatur, membuatku second guessing..apakah memang ada relasi antara tingkat ekonomi seseorang dengan tingkat awareness seseorang? (karena aku merasakan attitude penumpang yang berbeda ketika aku menggunakan mid-upper class plane) Or I am being too judging now? May be I’m wrong…but hey..what’s the point you able to attire like a boss (by upgrading using a plane) if you can't act like a one?
- Posted using BlogPress from my iPad

Comments

Popular Posts