Why Travelling?



To Travel


 Lolongan angin di kesunyian pegunungan salju, teriknya matahari dan patulannya di permukaan laut biru hingga warna-warni kelopak daun sakura adalah beberapa hal yang membuat saya ingin  mengemas tas punggung  dan terbang puluhan ribu kaki keluar dari rumah.

Tidak perlu sangat jauh, bahkan sejak saya masih piyik dulu, dengan sepeda mini berkeranjang hitam di depan, saya mengayuh jauh untuk menemukan sesuatu yang baru. Dari sebuah danau cermin di tengah desa entah berantah, rumah kecil di bukit  berhamparan sawah hingga rumah kumuh di pinggiran rel kereta, kaki kecil saya tidak mengenal lelah untuk mengamati dan mencoba memahami keadaan sekitar.
My Bike! (i wish)
Tentu  perjalanan singkat jaman masih piyik dulu belum diberi label sekeren sekarang; Travelling. Buru-buru instagram, membawa kamera pun tidak. Atau peta. Travelling jaman dulu sesederhana definisinya:



Ketika beranjak dewasa, memiliki penghasilan dan [yang paling penting] memiliki kemerdekaan untuk menentukan tujuan perjalanan maka secara perlahan  jarak yang ditempuh pun semakin jauh.

Awalnya, travelling bukanlah kebutuhan untuk melepas 'stress, melainkan sebuah kebiasaan untuk keluar dari rutinitas. Kemudian, ketika tantangan menjadi dewasa semakin menanjak, travelling menjadi suatu kata, yang seringkali digunakan media iklan untuk dikait-kaitkan dengan penyembuh stress.

Lantas, mengapa travelling? 

Melebihi semua pemandangan indah yang dianugerahkan ke bumi ini, bagi saya tujuan utama pergi ke suatu tempat adalah untuk membawa hal baru. Sebuah discovery

Berlebihan? Mungkin! Namun menjelajahi tempat baru selalu membuat saya menemukan sifat lain dalam diri saya yang kadang membuat saya bangga pada diri sendiri atau mungkin malu.

Travelling juga salah satu tools yang bisa menguji beberapa level sifat saya dalam satu waktu. Level keberanian, kesabaran, kreativitas, problem solving, adaptivitas dan yang paling penting adalah bagaimana travelling telah membawa saya pada kepribadian dinamis.

Beberapa teman saya berpendapat bahwa travelling adalah kebutuhan tersier untuk mereka yang kelebihan uang. Sempat beberapa orang bertanya, bagaimana caranya menabung untuk travelling?

Well, saya bisa bilang;  travelling bisa mahal atau tidak. Meskipun saya argue bagaimana travelling bisa menjadi sangat murah tanpa mengorbankan kenyamanan, namun semua akan kembali pada level kepercayaan diri seseorang terhadap financial management mereka.

Sebelum menjustifikasi bahwa Travelling adalah act of foya-foya atau act to be exist, bagi saya berikut beberapa alasan menjawab Why Travelling;


1. Travelling is about how to challenge your tolerance 
Crowds and Tolerance
 
Prinsip utama travelling adalah menghilangkan stress, bukan malah menambahnya.


Namun kenyataannya, travelling terkadang membutuhkan persiapan yang lumayan dan berujung pada stress.

Lucky me, saya paling sering travelling bersama suami, dimana kami bisa rely each other dalam bagian berbeda-beda. Sebagai contohnya, sebelum berangkat, saya bertugas untuk menentukan destinasi (kota dan tempat yang ingin dikunjungi), sementara suami akan bertugas untuk budget planning (padahal dalam dunia nyata, saya bekerja di dunia finansial}. 

Di tempat yang dikunjungi, kami akan bergantian untuk membaca peta dan menentukan tempat makan (mostly suami sebenernya he he he), sementara most of time saya akan mengintroduksi kepada suami sejarah di balik tempat yang kita kunjungi (karena saya yang melakukan riset sebelum pergi).

Bisa dibilang, travelling dengan suami bring almost zero problem karena kami mengetahui porsi tugas masing-masing dan yaiyalah sama suami gitu. He he he.

Namun, terkadang travelling harus dilalui dengan teman-teman atau bos. Tidak dihindarkan, terkadang porsi tugas yang berat sebelah, membuat  beberapa orang sama sekali tidak menikmati perjalanan.

Dari hal yang paling sederhana, jadwal bangun pagi, siapa yang mandi duluan, berapa lama durasinya, sampai dengan durabilitas masing-masing orang yang berbeda. Beberapa orang enggan berjalan kaki lebih dari 500 meter, beberapa orang lebih memilih berjalan 2 km daripada naik uber  seharga 'hanya' 5 dolar (itupun dibagi 5 orang!). Di saat itulah ujian bagaimana tujuan mulia travelling diuji (sekaligus hubungan pertemanan yang selama ini terjalin). 

Jujur saya tidak tahu bagaimana jika yang travelling adalah gerombolan cowok karena most of the time saya hanya travelling bersama dengan cewek-cewek. I guess it will less drama involved since they are men anyway!

Salah satu memorable travelling saya bersama teman-teman adalah saat mendaki gunung ijen. To be honest itu adalah pengalaman mendaki pertama yang 'sebenarnya'. Beramai-ramai, dengan golongan umur yang berbeda-beda, di tengah malam buta, kami mendaki melawan dinginnya air hujan. Dari awalnya 24 orang naik ke atas  namun yang tersisa hanya tinggal rombongan berisi dua pada saat turun kembali. Sebagian besar orang berpencar, menemukan teman yang satu ritme.

Tidak ada konflik pastinya karena kami sudah cukup dewasa untuk membatasi diri terhadap drama. Kami memilih kelompok yang memiliki visi sama dari derap langkah hingga kesunyian bersama. 

Hanya selama 8 jam bersama namun kami mengerti bagaimana beratnya untuk mengalahkan diri sendiri tanpa harus terseret drama bersama orang lain.

Disitulah saya ingat jadwal travelling yang masih panjang yang juga berarti kebersamaan yang masih cukup lama,  jadi saya harus  bertoleransi atau jika tidak, saya akan tidak bahagia selama program berlangsung.

Itu yang terjadi jika kamu travelling bersama dengan teman. Bagaimana jika travelling bersama tour group yang sama sekali tidak kamu kenali? Well, saya pernah dapet rombongan orang yang telat 2 jam datang sebelum keberangkatan, alhasil semua orang menunggunya..dan cara cepat untuk tidak stress adalah...bertoleransi.
 

2. Travelling is about how to challenge your own ability
Travelling Alone, won't you?

I will brutally honest here, travelling adalah kegiatan mahal terutama untuk menguji tingkat ketergantunganmu terhadap diri sendiri. Tidak peduli kamu travelling sendirian atau beramai-ramai, one ultimate goal to travelling is how to rely on your self.
Once in your life, try to travelling alone  by your self. No tour guide involved or friends at the destination. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana seramnya berpergian sendiri terutama jika untuk pertama kalinya. Namun saya minta jangan nanggung, pilih perjalanan dengan waktu tempuh panjang, tempat yang sama sekali belum pernah dikunjungi dengan budaya yang sama sekali baru.

I assure you, you will be surprise how you value your self after that. Dari awalnya penuh keraguan, memilih itinerary paling sederhana dan  aman hingga akhirnya kamu akan mencoba hal-hal yang di luar itinerary-mu. Be spontan person of yourself, be unprepared and taste the adrenaline dripping on your blood!

Beberapa tahun yang lalu, saya adalah orang yang paling spontan yang pernah ditemui orang sekitar saya. Namun sejalan dengan waktu, saya mulai pandai berfikir dan mempertimbangkan sesuatu dari baik dan buruknya. Kata orang, otak saya mulai terstruktur, ada banyak baiknya namun you know you felt it when you are changing,right? And sometimes you miss your old yourself. 

Dengan travelling sendirian, saya break all the pattern. Berjalan tanpa peta, berhenti sejenak untuk mencoba makanan baru, duduk di taman sendirian menikmati bagaiman senja berganti menjadi kegelapan atau sekedar menatap tajam patung raja yang tak kamu kenali sambil berfikir bahwa berada di sini, adalah hal yang tidak pernah kamu bayangkan, bahkan dimimpikan. 

Test terberat saya ketika berpergian sendirian adalah mencari makanan other than fast food. Biasanya, kerjaan suami saya yang tak pernah takut mencoba makanan baru di tempat baru. Sementara saya, untuk urusan makanan,  sejak lahir saya adalah manusia picky. Berjalan ke food court, mencoba makanan yang tidak pernah saya pesan adalah salah satu tantangan keberanian yang harus saya taklukkan (walaupun pernah sekali  berakhir memuntahkan semua makanan), namun saya senang dan melengos sombong saat melihat Burger King atau McDonalds. Silly, namun itu adalah sebuah achievement sederhana bagi saya.
My Basic food
Selain itu,  the great things about travelling alone is how your sensory ability just lighten up. Jika biasanya selalu ada seseorang yang memberitahu anda tempat ini bagus, atau sebaliknya seseorang yang mendengar komentar anda, kali ini anda berkata pada diri sendiri dan surprisingly, anda akan melihat, menyadari dan merasakan banyak hal yang tidak pernah anda dapatkan ketika travelling bersama-sama.

Hal sederhana seperti bagaimana orang lokal saling menyapa saat berada di lift, atau  bunga mawar ukuran raksasa dan hal-hal 'tidak penting lainnya'. Termasuk bagaimana bunyi angin melolong pada suhu 0 derajat di puncak gunung.

Mawar di Eropa jauh lebih besar daripada di Indonesia





Kemudian pada satu titik, kamu tidak akan masalah melihat pasangan di hadapanmu sedang berciuman  sementara kamu sendirian. Solitude.


Tersesat atau sekedar menyesatkan diri adalah hal lain yang menantang bagaimana respon kita dalam suasana kritis.




3. Travelling is a memory box

Bahkan saat saya menulis blog ini, bibir saya secara involuntary tersenyum. Membuka foto-foto lama kemudian otak kita secara otomatis memutarkan sebuah film pendek, rekaman bagaimana hari itu berlangsung. Sepiring pasta murah dan enak, langit biru dengan semburat tipis awan, senyum pasangan saat kamu melontarkan joke yang hanya ia mengerti, baju bunga-bunga biru dibalik jaket tebal yang selama seminggu terakhir terus dipakai, hingga lagu yang dinyanyikan musisi jalanan saat kamu melintas.

And there, there!Meskipun kamu tidak mengingat detail arsitektur Duomo, namun kamu ingat hari itu sangat senang karena setelah berhari-hari kedinginan, matahari akhirnya muncul dan membuatmu melepas jaket, memamerkan mini dress cantik warna biru itu.

Bagi saya, travelling adalah treasure box. Karena itu, sebisa mungkin saya selalu menyimpan sebuah memento saat saya pergi ke suatu tempat. Tidak sefanatik koleksi tumbler Starbucks, mungkin hanya sehelai kartu pos, tempelan kulkas atau buku dari sebuah museum. Bisa barang apapun untuk mengingatkan saya memori bahagia ketika berada di suatu tempat.


My Memento

Setiap saya sedih atau tertekan, saya akan membuka album foto lama atau sekedar berdiri di depan pintu kulkas, mengingat kembali serpihan-serpihan kenangan berada di suatu tempat.

I know, memories fade away, but the way travelling made you felt, will stay forever.



 4. Travelling is about being honest to yourself

Kemana tujuan utamamu pergi ketika travelling? Pusat perbelanjaan? Most Instagrammable spot? Tempat paling sepi akan pengunjung? Restoran terbaik di kota? Tujuan destinasi peringkat pertama di Trip Advisor?

Bagi saya, tempat yang akan saya sangat cari ketika berada di sebuah kota adalah Toko Buku. Yup, meskipun hampir seluruh kota di dunia ini memiliki toko buku, namun yang paling menarik penasaran saya adalah koleksi buku yang dimiliki kota tersebut. Meskipun hanya akan memberati koper, saya selalu membeli 1 buku yang tidak pernah saya temui di kota lain. I know, buku itu mungkin saja ada di kota lain, namun saya selalu suka menulis di halaman pertama buku tersebut seperti:


Paris, March 2017

Sementara suami saya, hal yang selalu ia cari; tidak lain adalah cheap eats in town. Dia akan rajin browsing untuk menemukan satu kafe atau hawker yang menjual makanan paling laris di kota itu.

Best Cheap Eats in Amsterdam

Meskipun pergi ke kota yang sama, mungkin kita akan memilih tempat yang sama sekali berbeda. Salah satu fungsi travelling, menurut saya, adalah menjadi diri sendiri untuk mencapai tujuan suci travelling, stress free.

Beberapa teman saya, menyukai travelling ke suatu tempat yang sedang hits atau dengan kata lain instagrammable abis.  Mereka rela antri panjang, atau menikmati 'sekedarnya' karena antrian berikutnya yang masih panjang. Bagi saya, tempat seperti tidak terlalu menarik, namun bagi mereka adalah muse dari travelling itu sendiri.

That's why, travelling terbaik adalah menjadi dirimu sendiri. Meskipun orang bertanya: apa ngga bosen makan Bakso Bakar terus tiap ke Malang? Then you know how to answer them: Mind your own business!


5. Most of All, Travelling is finding the New Me

Did You Know? Not Only Cherry Blossom, Korea is has remarkable beauty flower namely Canola


Setelah pergi dari suatu tempat, saat kamu tiba, pernahkah kamu merasa bahwa banyak hal telah terjadi selama ini, namun tidak dengan tempat kamu tinggal?

Tidak peduli seberapa lama atau singkat kita travelling, saya biasanya merasakan perubahan yang sangat banyak. Pengetahuan, pengalaman bahkan mindset. Setiap pulang dari travelling, saya selalu merasa seperti petir, bahwa jiwa saya terakselerasi sesuai kecepatan cahaya, sementara kenyataan seperti kecepatan suara.

Pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari travelling, besar atau kecil selalu membawa perubahan (yang seketika) pada saya baik sikap, sudut pandang maupun perasaan.

Menyerap kebudayaan, mengetahui sedikit tentang sejarah tempat yang dikunjungi adalah khasanah pengetahuan yang saya coba pelihara dengan baik. Bagi orang yang hobi membaca buku dan melihat tv seperti saya, travelling seperti sedang melakoni film yang kita buat sendiri sambil mempelajari banyak hal yang baru.

Salah satu contoh yang aplikasi terbaik yang saya dapat dari travelling adalah saat pulang dari Jepang. Saat di Osaka, saya terjebak di rush hour saat berada di dalam kereta komuter. Di saat kondisi super padat, saya akhirnya mengerti bahwa meskipun berdesakan, mereka menghargai masing-masing bounderies. Tidak ada saling dorong, atau saling sikut. Hal itu juga yang membuat naik kereta di Jepang jauh lebih nyaman.

Sepulangnya, saya mencoba mengaplikasikannya saat menaiki bus TrasnJakarta. Saya tidak mendorong atau berdiri terlalu dekat saat ingin masuk bus (bukan berarti sebelumnya saya hobi dorong-kali ini saya hanya mencoba lebih sabar). Terbukti, saya lebih tidak terlalu kesel jika berada di bus. Beberapa orang yang mendorong saya dari belakang, langsung saya minta dengan baik-baik untuk bersabar. Beberapa berhasil, beberapa yah..you know our society.

Selain itu, masih banyak hal lain yang saya dapat dari travelling. Tidak hanya sikap atau sudut pandang baru. Bahkan sifatpun saya re-invent  ketika travelling sendirian ke Swedia terakhir kali. Sifat itu adalah keberanian.Bukan sejenis keberanian untuk loncat dari ketinggian 2000 kaki, namun keberanian kecil menyesatkan diri, selfie di tengah publik, duduk sendirian berlama-lama di taman dan do nothing. Khusus yang terakhir, percayalah sebagai orang yang introvert (yeah you read it right), itu adalah hal yang saya lakukan tidak lebih dari jumlah jari tangan kanan saya.


Sitting, Doing Nothing in the Park


Begitulah, beberapa alasan sederhana di atas yang membuat saya selalu memasukkan jadwal travelling di sela-sela mundane live. Seperti yang saya bilang tadi, travelling tak selalu jauh atau mahal.

Kembali ke definisi travelling and remember! travelling should be less stress!

Here is bonus sunset from Borneo!














Comments

Popular Posts