Farewell



Out through the fields and the woods
And over the walls I have wended;
I have climbed the hills of view
And looked at the world and descended;
I have come by the highway home,
And lo, it is ended.

The leaves are all dead on the ground,
Save those that the oak is keeping
To ravel them one by one
And let them go scraping and creeping
Out over the crusted snow,
When others are sleeping.

Reluctance- Robert Frost

Hingga saat ini, kematian merupakan satu fase kehidupan yang sangat jarang terlintas dalam pikiranku. Bukan berarti aku tidak pernah berfikir tentang kematian, namun kematian seperti mempelajari Bahasa prancis, bahasa yang sulit kupahami  serta tidak ada urgensi untuk mempelajarinya, meskipun sekali dua kali aku pernah menyebutnya dalam pembicaraan sehari-hari.
Tidak ada yang menginginkan kematian, siapapun, apalagi jika datang kepada orang yang paling dekat dengan kita. Aku tidak pernah takut akan kematian, namun begitu hal itu datang, ternyata mampu meluluhlantakkan seluruh duniaku.
Selama ini aku termasuk orang yang tidak pernah kehilangan siapapun terdekat dalam hidupku. Kakek Nenekku telah tiada sebelum aku mengenal kata dekat dengan mereka. Tidak dihitung kehilangan pacar, karena mereka masih ada, sehat, dan memiliki wanita lain di samping mereka :)
Aku hampir tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang paling kita cintai di dunia ini. Seakan tidak ada kata yang bisa mewakili kepedihan, keterkejutan dan ketidakpercayaan saat orang  tersebut dipanggil kembali oleh Tuhan, meninggalkan kita lebih hancur dari serbuk tepung.
I cry and cry like a goddam river. Namun bahkan tangispun tak sanggup mengatasi bagaimana berduka nya aku kehilangan Ayahku.
26 September 2013, Aku kehilangan Ayahku. Hari itu adalah terakhir kalinya aku bisa melihat senyum ayahku, mendengar suaranya memanggilku, dan merasakan kulit telapak tangannya di puncak kepalaku, atau merasakan basah bibirnya di dahiku.
Ketiadaan adalah hal yang sangat mustahil bagiku. Ayahku sehat, dan seumur hidupnya dia tidak pernah sakit, bahkan hanya untuk influenza. Dan di hari-hari terakhirnya pun aku tidak mendapatkan firasat sedikitpun. Kepergiannya seperti munculnya matahari di malam gelap gulita. Sesuatu nampaknya salah, tidak berjalan semestinya. Seakan rotasi bumi berjalan berlawanan arah.
Namun meskipun aku menolak itu, namun air mataku mengalir seperti air terjun. Aku tidak tahu mengapa menangis namun segalanya nampak tidak mungkin. Tiba-tiba dunia menjadi tempat yang asing bagiku.
Bahkan seandainya aku bisa merobek nadiku untuk menghilangkan sakit yang ada di hatiku saat mengetahui kepergiannya, aku akan melakukannya. Jika memang hal itu sanggup meredakan nyeri di hatiku.
Namun kakakku tidak mengijinkanku menjadi egois. Kepergian Ayah tidak seharusnya terkonsentrasi mengenai aku. Ketakutanku menghadapi dunia tanpa seorang ayah hanya manifestasi dari keegoisanku sebagai manusia.

Aku harus mengikhlaskan Ayahku, menerima kenyataan bahwa dunia memang telah berubah pada detik itu. Saat ini yang bisa kulakukan adalah mengenang bagaimana Ayahku telah mendidikku tumbuh menjadi seseorang yang kuat.

Ayahku bukanlah orang yang sempurna. Bahkan seumur hidupku, aku tidak pernah membanggakan ayahku seperti aku membanggakan Ibuku. Ayahku sangat pendiam, bahkan semenjak aku kecil, hanya sekali beliau memarahiku, itupun karena aku berkelahi dengan kakakku.

Uniknya, ayahku dikenal sangat talk-active jika berhubungan dengan orang di luar lingkungan keluarga. Beliau sangat mudah bergaul dengan orang dari berbagai kalangan. Pernah saat SD, ayahku mengajak seorang gelandangan tua ke rumah, menyediakan air hangat, memberinya makan dan memberikan tempat tidur serta selimut untuknya tidur di rumah.

Saat itu aku bertanya mengapa ayah melakukan hal itu, dia hanya bilang bahwa dia tidak sampai hati melihat orang tua kedinginan di stasiun. Dia tidak bisa membayangkan jika gelandangan itu dirinya.

Kejadian itu tidak hanya sekali, namun beberapa kali dan cukup membuatku kesal. Aku tidak melihat bagaimana ketulusan hati ayahku, aku hanya melihat begitu banyak manusia-manusia tua dan kotor masuk ke dalam rumah, meninggalkan bau yang luar biasa tajam.

Aku tidak sadar saat itu bahwa ayahku sedang mengajarkan bagaimana memperlakukan orang lain sebaik memperlakukan diri kita sendiri. Ayahku mengajarkan kesetaraan dan menjauhkan definisi strata dalam hidupku. Dan jika sampai detik ini aku begitu frustasi dengan ketidaksetaraan kelas sosial, maka aku tidak akan heran karena ternyata itu adalah salah satu hal yang diajarkan ayahku.

Mengapa aku menyebut ayahku tidak sempurna, karena aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk berbagi cerita hidupku sejak aku menginjak usia remaja. Aku tidak mengerti kenapa, hubungan kami selalu dingin, tidak melebihi kata "kapan datang" "kapan pulang" "uangnya cukup atau tidak", hingga di akhir2 harinya , pesan yang ia kirim masih berputar akan tiga hal itu, dan sampai hari terakhirpun aku selalu menunda untuk membalas pesannya. I know I am such a useless kid.

Sampai akhirnya aku menemukan fotoku di dalam dompet ayahku. Tidak ada foto 3 anak lainnya, hanya ada aku. Saat itu, seperti banjir, otakku langsung memahami seluruh hal yang terjadi di tahun2 sejak aku menginjak remaja.

Selama ini kupikir aku bukanlah anak favorit ayahku, namun ternyata ayahku hanya terlalu mencintaiku hingga dia terlalu serba salah untuk memulai komunikasi denganku tanpa membuatku menjauhinya.

Ayahku mungkin tidak seperti ayah-ayah lain yang bertindak seperti sahabat bagi anak putrinya, tapi bahkan di hari-hari ketika ia tidak sadar, yang beliau gumamkan adalah menjemput aku di bandara. "Anak perempuanku akan pulang, sudah mau sampe di bandara."

The things are, I couldn't even recall my bad memories with him, everything seems silly and off memory. I just remember his smiling face, his patient and million words of wisdom that he told occasionally to me.

Aku tahu aku tidak akan pernah baik-baik saja, Dunia tidak lagi sama seperti ayahku masih ada di sisiku. Aku hanya memiliki penyesalan, dan rasa tidak berguna yang akan terus ada di sisa hidupku.

Aku akan berjuang, dan terus berjuang demi ayahku. Setelah kepergian Ayahku, aku bahkan tidak mampu berfikir apalagi menulis. Otakku berhenti, tidak mampu mengolah kembali kata-kata dalam benakku. Namun sebuah kenangan kecil tentang ayahku yang mendorongku.

Jika aku bisa menulis hingga saat ini, karena pujian ayahku saat aku masih duduk di kelas1 SD. Dulu, ayahku yang bertugas mengirimkan segala jenis tulisan ke majalah anak-anak.

Kepergian ayahku,telah mencabut porsi besar kebahagiaanku, meninggalkan lubang yang tak akan pernah sembuh di dalam hatiku. Aku akan selalu menangis saat melihat fotonya,dan mengingkari janjiku untuk tidak menjadi anak yang egois untuk Ayahku. Aku akan selalu menyesali seluruh tindakanku baik yang tidak bisa kulakukan untuknya, maupun yang telah kulakukan kepadanya selama Ia hidup.

Aku tidak pernah begitu dekat dengan kematian, dan kini dia menciumku tepat di ujung hatiku dan membuatnya berdarah-darah.

aku tahu aku harus kuat. Aku tahu aku harus terus melanjutkan warisan kenangan ayahku dalam hidup. Yang aku tidak tahu adalah caranya memiliki kembali waktu, dan melihat senyum ayahku kembali.

Even it is very late, I love you Dad. From the whole of my heart, I love you infinitely and I will forever missing you.

Farewell, Dad.

- Posted using BlogPress from my iPad

Comments

  1. "death is not the end but only a transition" - Jhon Myung

    ReplyDelete
  2. Omaigat. I am so sorry for not knowing this early. Big condoleness for you and fams. *super big hugs*

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts