Summer di Hokkaido (Part I) : Dari Es Krim Autan sampai Kota Zombie Apocalypse


Sapporo at Night


Jalan-jalan ke Hokkaido adalah salah satu bucket list saya, bukan karena intensitas saljunya yang tebal atau karena kepingin foya-foya sambil main ski (iya juga sih!) tapi lebih karena kuliner!

What? Kuliner?

Yes, pulau paling ujung di Jepang ini sangat terkenal dengan kelezatan makanannya, dari dairy products (ice cream, cheese, milk), beef, ramen dan produk-produk pertanian seperti lavender (yeah, you read it right, lavender!), melon, belum lagi best seafood in country seperti kani (kepiting), sushi dan masih banyaakkkk lagi.

Folks told us that  karena tanahnya yang subur, makanan di kepulauan Hokkaido ini sangat abundance dan lezat. Di pulau ini juga terdapat banyak hutan, perkebunan dan tentu saja pegunungan.

Jadi, ketika ada long weekend di Korea, saya memutuskan untuk membeli tiket yang lumayan murah (sekitar IDR 2.7 juta pp). Iya murah karena jika dibandingkan harga tiket pas winter bisa 3x lipat lebih mahal. Summer di Hokkaido juga ga terlalu panas atau adem. Suhu biasanya mencapai paling panas 30  derajat dengan rata-rata sekitar 14- 26 derajat celcius.

Namun, se-spontan apapun, sebelum membeli tiket, saya melakukan riset kecil-kecilan mengenai tujuan wisata dan cheap sheet untuk menikmati Hokkaido tanpa terampok habis-habisan.

Awalnya, kami budget-kan perjalanan ini akan habis sekitar IDR 18 -20 juta untuk 2 orang termasuk tiket dan penginapan. Ternyata, disana kami tidak dapat menahan nafsu untuk terus ngunyah jadi perjalanan kami overbudget (sedikit)

To sum up, perjalanan 5 hari ke Hokkaido meliputi :
Day 1 Incheon- Asahikawa Airport- Furano
Day 2 Takinoue Pink Moss Park - Asahikawa City Tour
Day 3 Sapporo
Day 4 Otaru Bay
Day 5 Sapporo and back to Incheon

Detail itinerary dan budget bisa di downloan di sini


1. Day 1- Incheon-Asahikawa- Biei- Furano

Poppy!!!
Perjalanan ke Asahikawa sebenearnya adalah sebuah ketidaksengajaan membaca blog seseorang yang ingin pergi ke daerah Furano dengan cara menghemat waktu dan uang. Kebetulan saya cek perjalanan ke Asahikawa dari Incheon adalah direct flight Korean Air.

Asahikawa adalah kota terbesar kedua setelah Sapporo di pulau Hokkaido.Asahikawa terkenal karena origin of ramen dan abundance of green areas.

Bandara Asahikawa-pun relatif lebih sepi dan baru daripada New Chitose Airport. Oh ya, karena saking sepinya, petugas bea cukai sampai dengan kreatifnya mengecek satu per satu bagasi cabin tiap penumpang. Mengecek dalam artian membuka koper dan memeriksa tiap bungkusan dalam koper. Akibatnya, antrian sebelum imigrasi menjadi lumayan panjang.

Lepas dari bandara, saya membeli tiket bus langsung ke Biei melalui vending machine. Bandara Asahikawa terletak diantara Furano dan kota Asahikawa, sehingga lebih efisien jika saya langsung ke Furano. Sedangkan Biei terletak sekitar 30 menit dari Furano. Perjalanan ke Biei ditempuh sekitar 50 menit dengan tiket cukup murah sekitar 700 Yen.

Awalnya, saya ingin menyewa mobil selama di Furano-Asahikawa, namun ternyata SIM Internasional tidak diterima di Jepang karena menganut konvensi yang berbeda. Sayapun tidak sempat untuk menukar ke SIM Korea sebelum keberangkatan (karena SIM Korea diterima di Jepang). Sayapun sengaja tidak membeli JR Pass karena banyak wilayah di Furano, Asahikawa yang tidak tercover adalah JR Hokkaido.

Membawa koper, saya sampai di bus stop Biei. Bus stop ini terletak sekitar 20 meter dari stasiun Biei. Stasiun Biei adalah stasiun yang sangat kecil (bahkan lebih kecil daripada Kepanjen) dan tidak ada petugas penjaga. Namun terdapat coin locker untuk menyimpan bagasi saya.

German Lupin di Farm Tomita
Keluar dari stasiun, saya langsung naik taxi ke Farm Tomita. Tenang, taxi di Jepang emang mahal tapi untuk ke farm tomita yang berjarak sekitar 2 km,argometer 'cuma' menunjukkan tarif 700 yen.

Farm Tomita ini sangat terkenal saat musim panas karena kecantikan tamannya terutama lavender yang mulai berkembang di akhir juni sampai pertengahan agustus. Ketika kesana, saya aware masih belum peak musimnya, namun simply karena saya pengen ngerasain es krim lavender dan melihat the famous Poppy.

Bagi yang belum familiar dengan bunga Poppy tapi punya banyak teman bernama Poppy, Poppy adalah bunga warna-warni cerah dari orange, kuning, merah. Salah satu spesies Poppy terkenal karena merupakan salah satu bahan candu di dalam pembuatan morfin. Saya sih tidak tahu apakah Poppy di taman ini bisa dibuat Morfin atau tidak. Sumpah , menyentuhpun saya tidak berani! (takut harus mandi besar 7x..halah apa sih?)


Lavender and Ice cream lavender

Di Farm Tomita yang super luas ini terdapat berbagai macam bunga yang mekar secara bergantian sepanjang tahun. Memang sih, katanya paling indah di Lavender season, namun saya tidak menyesal sama sekali datang ke Farm Tomita karena masih banyak bunga yang bisa dilihat.

Tomita Farm

Sembari disana, saya menyempatkan Yubari Melon yang super terkenal seperti Durian Musangking. Saya tidak terlalu suka sama Melon, tapi karena penasaran, saya coba potongan kecil seharga 500 Yen (di Indo bisa dapet 2 glundung melon) dan ternyata.........

supeeeeeeeeeeeeeeeeeeerrr enakkkk!!!

Tapi karena harganya yang sangat mahal (1 glundung sekitar 1.7 juta rupiah), saya dan suami menahan diri untuk tidak kalap.

Nah, tantangan selanjutnya adalah makan ice cream lavender. Akankah rasanya seperti Autan? Well, turns out it was good! Delicious tapi ga bikin nagih.
Yubari Melon dan Ice Cream Lavender (yang sudah termakan)

Setelah keliling, selanjutnya saya kembali ke Biei Station untuk mengejar kereta ke Furano. Kereta Biei-Furano-Asahikawa ini frekuensinya cukup jarang, sehingga kami tidak ingin ketinggalan kereta.

Dari Farm Tomita ke Stasiun kami berjalan kaki sambil menikmati kawasan pemukiman di sana. Kami juga menemukan stand pizza yang menang di festival pizza tahun 2018. It was super delicious and expensive! ha ha ha.

Berjalan di area pemukiman yang luar biasa sepi, saya sedikit teringat dengan dorama  favorit saya, Erased yang kebetulan memiliki setting di pulau yang sama.  Rumah-rumah mungil berjajar dan seperti ditinggalkan oleh penghuninya. Kesepian sepanjang jalan ini sangat luar biasa sehingga saya bertanya-tanya bagaimana suasana kota ini ketika musim dingin...when everything we see is just white and white. 

an Empty Street..an Empty House...a Hole Inside my Heart...

Sesampainya di stasiun Biei, saya agak bingung gimana caranya beli tiket kereta. Ternyata, ketika naik kereta, kita harus mengambil tiket yang tertulis stasiun asal, kemudian di stasiun tujuan, kita harus menyerahkan ke petugas dan membayar tiket secara cash.

Kereta dari Biei ke Furano berupa kereta lambat mirip trem yang hanya ada 2 gerbong. Di dalam kereta, ternyata cukup ramai dengan anak sekolah yang baru pulang dari latihan softball. Tidak ditemukan banyak turis di dalam kereta, mungkin karena belum musim lavender.
Trotoar sekaligus Jalur Sepeda kami


Sesampainya di Furano station, kami menyewa sepeda untuk mengitari kota Furano. Di tempat persewaan sepeda juga disediakan penyimpanan bagasi gratis. Awalnya, saya mau memanfaatkan kemalasan saya dengan minta dibonceng suami, tapi ternyata di Jepang tidak diijinkan untuk berboncengan kecuali anak kecil. Duh,padahal saya mau ala-ala film drakor!


Pemandangan Sepanjang Perjalanan sepeda

Furano sendiri terkenal dengan Japanese curry-nya!. Kami bersepeda mengelilingi Furano selama 2 jam, dari kota, Marche sampai tertipu oleh brosur yang menyarankan kami untuk pergi ke Furano Cheese Factory dengan berjalan kaki dari stasiun.

Padahal, dengan naik sepeda saja kami kelelahan karena cukup jauh (sekitar 4km) dengan jalan naik turun, melintasi sungai, highway dan mendaki ke atas bukit. Sebuah penipuan terbesar di brosur!

Despite that, Furano adalah kota atau desa yang sangat indah dengan dereta pegunungan, sawah, sungai dan bunga-bunga yang bermekaran sepanjang jalan. Bahkan dibeberapa jalan sangat wangi karena musim mekarnya bunga yang saya tidak tahu namanya he..he..he..

Sungai-sungai mengalir dengan jernih dan bunyi gemericik air adalah detok bagi warga metropolis untuk  kembali pada inner peace. Di sempadan sungai yang sangat lebar dan tumbuh semak-semak pendek, anak-anak sekolah berlarian bahkan ada beberapa yang terlihat berbaring menikmati kesunyian suasana damai itu. Well, kembali lagi saya teringat begitu banyak adegan manga dan dorama hanya karena melihat sebuah sungai.

Beef Curry
Sebelum naik kereta ke Asahikawa, kami memutuskan makan best curry in town, Yuiga Doxon  yang aromanya tercium sekitar 10 meter dari jarak restoran. Saya sendiri bukan penggemar curry kecuali Coco Ichibanya (curry netral karena ga terlalu strong). Curry di Furano ini pun enak sebenernya, but just not my cup of tea.

Saya menginap di JR Asahikawa Inn selama 2 hari sebagai base area untuk mengelilingi daerah Asahikawa dan radiusnya. Hotel bintang 3 (atau 4?) ini sangat recommended karena lokasi yang sangat strategis, kamarnya cukup luas dan harganya yang reasonable.
Perpustakaan di JR Inn Asahikawa


Day 2 Shibazakura Takinoue Park - Asahikawa 

Shibazakura adalah bunga pink moss yang biasanya berkembang diantara spring dan summer. Menurut iklan, Shibazakura Takinoue Park Festival masih berlangsung sampai tanggal 07 Juni 2019 dan saya pergi pada tanggal 06 Juni 2019.

Dari awal, petugas hotel mengingatkan saya bahwa mungkin season shibazakura telah berakhir, namun berbekal pada brosur, lagi-lagi saya ketipu.

Naik bus dari Asahikawa, saya menuju ke kota Takinoue dengan perjalanan sekitar 2 jam. Feeling ga enak kedua adalah ketika melihat bus ke Takinuou yang cuma diisi sekitar 5 orang termasuk saya dan suami.

Jalan menuju ke Takinoue-pun sangat sepi dan luar biasa indah. Membelah gunung -gunung, dengan kanan-kiri dikepung hutan, rasanya hanya ada bus kami satu-satunya yang berada di jalan.

Sesampai di halte Takinoue pun angin berhembus sangat kencang. Halte hanya ditandai sebuah papan petunjuk yang mengelupas disana-sini. Tidak ada manusia yang terlihat, hanya bangunan-bangunan rumah tua yang tidak nampak tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Halte Takinoue Park
Di halte itu, hanya ada 3 orang. Saya, suami dan seorang wanita berbahasa Jepang. Ia bertanya apakah saya ingin pergi melihat Shibazakura? Saya mengangguk, meskipun saya tidak yakin apakah itu yang ia tanyakan (dasar oon, emang ga bisa bahasa Jepang tapi sotoy).

Dari halte ke taman pun tidak dekat. Kami berjalan, mengikuti wanita kecil yang berjalan sangat cepat di depan kami itu.

Angin masih terus bertiup kencang bahkan jaket wind breaker yang saya kenakan tak mampu menahan dingin. Saya cek suhu udara mendadak turun sekitar 13 derajat celcius, padahal siang bolong. Kanan-kiri saya adalah rumah-rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya. Seolah hawa kehidupan adalah hal terakhir yang pernah berada di sana.

Abandoned House


Beberapa penginapan dan hotel sudah diambang roboh, tanaman liar mulai menutupi keindahan bangunan yang mungkin pernah berjaya itu.


Tanaman-tanaman liar



Hotel yang sudah Tak terurus



Sekitar 1.3km kami berjalan, dan ternyata.....

Tidak terlihat satupun warna pink di bukit yang sangat luas itu. Hanya hamparan hijau......

Wanita di depan kami, bertanya pada sejumlah petani yang nampak sibuk di area taman. Musim Shibazakura telah berlalu. Di akhir Mei, tiba-tiba terdapat hawa panas yang sangat tidak wajar dan menyapu seluruh Shibazakura itu, meninggalkan hanya dedauanan mungil di atas tanah.

Tak ingin kami kecewa, petani tersebut meminta kami untuk mengunjungi sebuah taman yang tak jauh disana, Herb garden. Tak jauh adalah another 1.4 km.Setelah berdiskusi dengan wanita itu, kami memutuskan untuk pergi kesana daripada perjalanan kami sia-sia.

Kami berjalan bertiga, masih wanita itu memimpin jalan.

Ia tak banyak bicara, yang terdengar hanyalah bunyi sol sepatu kayu yang beradu dengan lantai trotoar. Kami  berjalan menyusuri pinggir gunung dimana terdapat pagar tinggi menutup gunung tersebut dan banyak tulisan danger disana. Rupanya, sering rusa tiba-tiba meloncat dari arah gunung ke jalanan. Pagar itu adalah untuk menjaga mereka tetap berada di habitatnya.

Perjalanan ke Herb Park
Diantara kediaman kami dan lolongan angin, tiba-tiba terdengar suara sirine yang memecah kesunyian kota. Saya hampir tiarap sambil melihat ke arah langit. Mungkin ada serangan udara, atau sebuah tsunami menerjang. Ternyata....adalah sirine penanda jam 12 siang! Eff..! sirine yang super kencang untuk penanda jam 12 siang?????????????????????????????

Setelah berjalan sangat jauh, sambil sedikit berharap ada 1, 2 mobil yang lewat menumpangi kami, akhirnya kami sampai di Herb Garden yang pemandangannya tak jauh berbeda dengan taman sebelumnya.

Lelah, kami membuka bekal dan mulai mengobrol dengan wanita itu. Kami mengambil foto bertiga sebagai bukti kalau ia benar-benar diantara kami 😁😁

Three of us
 Selanjutnya, kami mengobrol dan memutuskan kembali ke halte menunggu bus untuk kembali ke Asahikawa. Wanita itu mengajak kami untuk makan sushi setibanya di Asahikawa.

Perjalanan selama ke Takinoue Park, meskipun kami tidak berhasil  mencapai tujuan kami, kami sangat senang. Mendapat teman baru, mendapatkan pengalaman super deg-deg an dan mengetahui salah satu tempat yang menurut kami, remote area di Jepang.
Herb Garden

Herb Garden

Takinoue adalah desa yang sangat jauh dari image Jepang yang modern, accessible dan sophisticated. Takinoue sangat alami, indah dan wild. Di sini juga kami akan mengenang, jika suatu saat ditanya tentang rekomendasi kota terbaik untuk shooting Zombie Apocalypse adalah Takinoue.Seriously!

Sunset di Asahikawa
Setibanya di Asahikawa, kami makan sushi kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat dan sholat. Setelah matahari tenggelam, kami akhirnya jalan-jalan di Asahikawa untuk mencari ramen halal.

Pusat Kota Asahikawa, malam minggu
Kota Asahikawa sendiri tidak terlalu ramai bahkan ketika malam minggu. Tidak terlihat banyak muda-mudi. Mall Aeon sendiri cukup ramai tapi masih average (tidak seperti mall di Jakarta ketika malam minggu). 

Ramen Halal di Asahikawa

Ramen halal yang kita makan pun cukup unik. Terbuat dari kuah tofu, namun cukup lezat. Ramen tersebut sepertinya dibuat untuk vegetarian friendly.

Akhirnya kami menutup malam itu dengan mixed feeling. Super excited karena kami menemukan kota seperti Takinoue dan harap-harap cemas kejutan apa yang akan menanti kami di Sapporo. Well, I think that's the perk of jalan-jalan, we can never expect it will go smoothly as our plan. The essence of travelling itself is enjoying the moment, not crossing the checklist. 

Karena terlalu panjang, saya akan meneruskan perjalanan di Hokkaido di post selanjutnya!Stay tune!



Comments

Popular Posts