The Borrowed Heaven

The Magnificent Mount Ijen


Beberapa orang percaya bahwa seorang pecinta gunung adalah seorang pemimpi sedangkan pecinta pantai adalah seseorang yang realistis. Lalu bagaimana kita memanggil seseorang yang mencintai keduanya? Well, saya memanggilnya Nature lover. Simple as that.

Minggu lalu (5/2/17), saya menghadapi salah satu ujian terhadap diri sendiri terberat yang pernah saya alami, mendaki gunung dengan track yang lumayan 'menantang', Gunung Ijen yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso.

Mayoritas orang tahu bahwa salah satu yang membuat Gunung Ijen tersohor adalah fenomena api biru yang katanya hanya ada dua di dunia, Ijen dan Islandia (sayangnya saya tidak menemukan referensi gunung di Islandia yang dimaksud). Namun sayangnya, tidak pernah ada yang memberi tahu bahwa pemandangan setelah matahari terbit di Gunung Ijen adalah salah satu yang saya sebut. Borrowed Heaven.

Perjalanan menuju ke puncak gunung ijen ditempuh dini hari pukul 00.00 wib dari hotel tempat saya tinggal dan tepat pukul 02.00 wib pendakian menuju Ijen di mulai. Orang lokal menyebutkan bahwa perjalanan one way menuju puncak hanya sekitar 3 km dengan medan yang tidak terlalu sulit. Sementara, local guide yang memandu kami mengatakan setidaknya dibutuhkan 4km untuk menuju puncak.

Berbeda dengan pendakian saya sebelumnya di Seongsan Ilchulbong dengan ketinggian 'hanya' empat ratus sekian meter di atas permukaan laut dilengkapi dengan tangga dan tempat duduk setiap beberapa meter, pendakian Ijen dilalui dengan kondisi gelap gulita, hujan dan jalan setapak yang tidak rata. Beberapa kesempatan, jika saya tidak menyorotkan senter ke atas, maka kepala saya akan terantuk oleh batang pohon roboh yang melintang di jalan.

Local Guide saya bilang akan ada 3 pos yang kami lalui, dan ternyata saya menghitungnya 3 pos sebelum pos bunder yang membuatnya menjadi 4 pos berbeda. Dari tempat parkir menuju pos 1, pendakian masih bisa dilalui dengan tawa-tiwi meskipun kondisi hujan gerimis dan membuat saya kegerahan karena dibungkus jas hujan.

Pos 2 menuju Pos 3 adalah tantangan pertama,rombongan saya yang terdiri dari 23 orang perlahan tercerai berai. Beberapa yang memiliki nafas panjang, mendaki dengan tenang dan ritme yang teratur. Sementara beberapa orang harus duduk lebih lama di pos untuk mengumpulkan nafas kembali.

Kebetulan pada pos 3 menuju pos bunder, saya terpisah sendiri dengan local guide yang tampaknya tidak merasa kelelahan sedikitpun. Di daerah ini, beberapa orang lokal mulai menawarkan jasa pendakian menggunakan gerobak dengan biaya sekitar 600-900 ribu per orang pergi-pulang. Lajur pendakian di daerah ini sangat menantang dan sekali lagi saya harus mengulangi, dengan kondisi gelap gulita.Menariknya di ketinggian ini, pendaki sudah mulai bisa melihat pemandangan gemerlap lampu kota Banyuwangi dari atas. Meskipun hujan turun semakin deras, dan kabut semakin tebal, sekilas saya bisa menikmati gemerlap lampu kota di ketinggian lebih dari 2000 meter dpl.

Setelah mencapai pos bunder, saya bertemu kembali dengan rombongan yang ada di depan saya. Setelah beristirahat selama 5 menit, guide menyerukan untuk kami bergerak kembali. Dengan meyakinkan Ia mengatakan bahwa kami begitu dekat dengan puncak gunung ijen. Kami hanya akan mendaki lagi sekitar 300 meter, kemudian track akan melandai dan datar.

But
No
Body
Said
These
300 meters
were
the
hardest
part!

Kami telah didoktrin bahwa saat kami mencapai pos bunder, kami telah melewati 3/4 milestones jadi pantang untuk kembali atau merengek untuk sebuah gerobak. Karena itu, pada pendakian terakhir kami pikir puncak begitu dekat.

Dan ternyata, saya merasa puncak seperti 400 kilometer jauhnya.

Disinilah ujian pendakian mulai menggoda, suatu perasaan yang tidak mungkin didapatkan saat kita datang ke pantai dan menikmati turquoise sea atau mendengarkan debur ombak menghantam karang (kecuali jika kamu datang ke pantai Green Bowl di Bali, those step ladders are darn tall!).

Sebelum mencapai puncak, saya hampir menyerah. Kaki begitu berat, kadar oksigen semakin tipis, dan hujan semakin deras. Sesaat sorotan lampu senter orang-orang di depan saya mencoba mengatakan bahwa ketinggian yang akan saya tempuh berikutnya akan sangat menanjak.

Tiga ratus meter yang diinfokan sebelumnya menjadi patokan hitungan setiap langkah yang saya ambil. How many meters more? How steep more?  dan saya mulai mengutuk angka 300 meter adalah sebuah retorika belaka.

Well, you wouldn't imagine how exhausted soul dying to surrender! Selama di sana saya menutup mulut, seolah membuka mulut akan membuat setiap usaha saya semakin berat (padahal saya sebelumnya ngobrol terus dengan guide).

Kemudian dalam sepersekian detik saya menyadari bahwa yang akan membawa saya terus naik bukanlah tenaga yang saya miliki, melainkan tekad. Tekad bahwa saya mampu. Tekad bahwa I ain't no surrender.

Selama perjalanan ke puncak pun, pikiran saya yang biasanya memikirkan berjuta adegan acak mendadak menjadi sunyi. Saya tidak memikirkan apapun dan ternyata amazingly calming.Disitulah saya mengerti, hal yang mungkin dialami setiap 42k runner untuk menyongsong finish line.That sometimes, emptying your brain is not a sin.That sometimes, analyzing too much is exhausting.

Saya pikir, perjalanan mendaki gunung adalah perjalanan spiritual untuk menjawab pertanyaan berat seperti who am i, what my contributions to this earth ? (HAHAHAHAHAHAHAHA never asked that once in my life-i am not melancholic enough!).

Ternyata, keindahan mendaki gunung adalah bagaimana saya menemukan diri saya sendiri dalam kesunyian pikiran.

Anyway, 300 meters, as i recount is totally bullshhhhh. Namun saya akhirnya berhasil mencapai puncak gunung ijen yang diawal akan disambut oleh bau sulfur yang menyengat. Di bawah, sekitar 800 meter curam, terletak api biru yang fenomenal.

Karena kondisi hujan, dan jam menunjukkan sudah hampir pukul 04.00 dini hari, tidak memungkinkan bagi saya untuk turun ke bawah untuk melihat blue fire lebih dekat karena tidak lama, blue fire akan tertutup asap belerang sejalan dengan terbitnya matahari.

Dan masih karena hujan deras, saya tidak berhasil mendapatkan foto fenomenal api biru melalui lensa saya. Namun setidaknya kedua lensa yang diberikan kepada Tuhan kepada saya, berhasil menikmatinya sampai fenomena itu tidak tampak lagi.

panoramic view kawah ijen
Meskipun tidak dapat melihat matahari terbit, namun sejalan dengan spektrum biru yang menyapu kegelapan, perlahan apa yang ada di depan mata saya mulai menampakkan diri. Danau yang biru indah, tebing-tebing batu, dan pegunungan yang berjajar indah.


Pat our self, we made it!!!


Duduk di bebatuan, menatap pemandangan indah di hadapan saya, saya menepuk bahu sendiri dan tiba-tiba merasa bangga pada diri sendiri. This is the hardest hiking I've ever done! (considering I didn't aforementioned information about the steep hills). 

Sekitar pukul setengah 6 saya dan 1 teman saya memutuskan untuk turun kembali dari gunung Ijen. Dan sebelumnya, guide saya menginformasikan bahwa jangan menganggap enteng perjalanan turun karena masih membutuhkan tenaga yang besar.
lokasi penambangan sulfur

Memutuskan untuk berjalan lambat, kami menikmati warna biru dipadu hijau yang sesaat disapu kabut tipis warna putih. Hujan masih turun, terkadang deras, terkadang ringan dan kami sudah terbiasa dengan butiran-butiran basah yang menerpa wajah kami.

Pekerja penambang sulfur memulai aktivitas dari matahari terbit
Dan seperti yang sebelumnya saya sebutkan, tidak seorang pun pernah mengatakan bahwa pemandangan Ijen di pagi hari adalah sesuatu yang mungkin dipinjamkan surga kepada dunia-The Borrowed Heaven.

The mists

Jajaran hutan pinus yang menghijaukan bukit dipadukan dengan tanah merah,sesekali disapu oleh kabut putih tipis membuat suasana menjadi moody dan mistis.

Ketika kabut semakin tebal


Selama sedetik, masih dengan rasa sakit di sekujur tubuh, saya menyadari bahwa pendakian selama dan seberat itu terbayar lunas oleh pemandangan yang ada di hadapan saya. Tuhan telah melukis dunia dengan sedemekian indahnya, dan manusia hanya tinggal mencari kemudian mensyukurinya.
In fact, kecantikan ini tidak jauh dari rumah kita.


Jalan setapak pendakian yang landai


Dan ketika pepohonan mulai merapat, pagi semakin menggigit, kami kembali menuruni jalur-jalur curam sekaligus melatih kemampuan kami untuk melakukan pengereman untuk menghindari jatuh ke jurang.

and I said, it was not easy also. Dibutuhkan kekuatan lutut dan betis yang banyak bagi saya yang jarang berolahraga (dengan 7kg beban lemak tambahan).

Beberapa saat, saya harus berhenti untuk mengambil nafas dan mengurangi gemetar di kedua lutut saya.Saya juga berhasil memperlambat laju teman saya untuk turun (karena dia memakai sepatu mendaki!!!!!).

My Hiking Partner!!!

Bahkan, saya sempat tergoda oleh tawaran gerobak yang kali ini banting harga menjadi Rp.100.000,-!!! Namun gengsi menelan keinginan saya dengan cepat.

Saya berhasil sampai di parkiran mobil jam 07.00 pagi yang mana berarti saya membutuhkan waktu hampir sama panjangnya dengan pendakian!

Anyway, dalam keadaan sakit disekujur badan saya mengomel dan melihat berapa banyak langkah yang saya tempuh untuk naik dan turun dari Ijen di jam tangan saya. In fact, total perjalanan saya adalah hampir 12 km! seketika, saya menyadari bahwa pendakian tadi bukan 6 km atau 8 km, kemungkinan 10km!!!!

Kesal dan capek saya tidak ingin kembali ke Ijen.

Dan sekarang, saat saya kembali melihat foto-foto Ijen, kemudian menuliskannya di sini dan menyadari bahwa penderitaan minggu lalu hanya dibayar dengan ongkos pijet seluruh tubuh 2x, I want to come back!

Saya ingin kembali, dan merasakan bagaimana rasanya mengalahkan diri sendiri sekaligus menikmati apa yang dipinjamkan surga kepada manusia.

That Borrowed Heaven is not easy to reach, but surely it is worth it!


Here is my hurtfull smile for bonus!!

Comments

  1. emptying my brain..yep..that's what i did when i decided to just pee next to that rock! LOL :))) thanks my hiking partner, it's a great story len! :*

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts