Me, an Author and Books

Some of Japanese Novel for my appetite

Jika terdapat pertanyaan, benda apa yang paling berarti dalam hidupmu? Maka dalam waktu tidak lebih dari satu detik, saya pasti akan langsung menjawab : Buku, buku, dan buku. Kesukaan saya terhadap buku juga tidak datang akhir-akhir ini, melainkan ketika saya berusia 3 tahun saat pertama kali membaca buku berbahasa Inggris tentang pengenalan warna.

Dulu, saat saya kecil, mengetahui kalau saya sangat suka membaca, orang tua saya  hampir setiap hari membelikan bacaan. Bukan buku cerita bergambar berbahasa inggris (yang saat ini sedang saya gandrungi), namun majalah anak-anak yang sudah out of date seperti Bobo, Mentari Putera Harapan, Tablo, atau jika beruntung- Donald bebek.

Setiap almarhum ayah saya pulang dari kantor, saya akan segera berlari menyongsong tas kerjanya dan mencari apakah ada majalah yang ia bawa untuk saya.

Pergi ke Gramedia adalah suatu kemewahan juga bagi saya. Rumah saya terletak sekitar 18 km dari Gramedia terdekat, jadi hanya sekitar sebulan sekali orang tua saya mau mengantarkan saya ke Gramedia. Saking senangnya dengan Gramedia, bahkan saya memiliki mimpi untuk tinggal diantara tumpukan buku, mencium harumnya buku, dan tidak melakukan apapun kecuali membaca (selain basic activities manusia lainnya).

Ke Gramedia pun bukan berarti saya akan mendapatkan buku (baca : komik) baru, saya harus mencapai target yang di setting oleh orang tua saya terlebih dahulu selama sebulan terakhir seperti menabung 100 perak setiap hari, atau makan sayur (yang sangat tidak saya sukai,-yang juga mengingatkan kesamaan saya dengan Sinosuke Nohara yang benci paprika).

Oleh karena itu, setiap buku yang saya punya, saya akan memberikan sticker nama, tanda tangan, dan disimpan rapat-rapat dalam lemari harta karun yang saya kunci-dan kuncinya saya bawa kemana-mana (baca : pelit).

Keadaan tersebut terus berlanjut hingga SMA, saat J.K Rowling menerbitkan buku fenomenal Harry Potter untuk pertama kalinya. Karena saat SMA saya sedang berada di masa puber-dan uang saya habis untuk makan bakso (puber = banyak makan), terhimpit antara keadaan ekonomi dan penasaran akan Harry Potter, saya datangi rumah temannya-teman saya yang konon katanya memiliki perpustakaan pribadi di dalam rumah mewahnya. Hal itulah, untuk pertama kalinya, saya yang tidak terlalu suka berkenalan dengan orang baru, berubah menjadi sok kenal dan meminjam buku Harry Potter darinya.

Beberapa teman (baca : fans) semasa SMA juga sangat baik memberikan saya buku-buku penulis Indonesia yang saat itu sedang pada masa jaya-jayanya, seperti Ayu Utami, Fira Basuki, Remy Silado dan kemunculan fenomenal Dee Lestari-dengan bukunya Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh.

Sampai saya kuliah berada di luar kota, sedikit demi sedikit saya berhasil menyimpan beberapa rupiah untuk membeli buku-buku berbahasa Indonesia dengan Gramedia sebagai toko yang paling sering saya kunjungi di sepanjang hidup saya. Perlahan, saya bisa membeli buku Harry Potter seri kelima, dan keenam.

Hingga akhirnya saya bekerja, dan (sialnya) tempat kost saya di Surabaya berada di belakang toko buku baru yang murah dan lengkap, jadi gaji saya yang tidak seberapa sering kali habis untuk membeli buku-dan akhirnya (lagi) saya berhasil mengumpulkan seri Harry Potter lengkap.

Pada tahun 2009, saya pindah ke Jakarta dan bertemu dengan teman yang book-freak seperti saya. Bedanya, dia suka membaca buku berbahasa Inggris. Bahkan, buku karya penulis Indonesia yang ia baca hanyalah Dee Lestari, sementara sastra Indonesia seperti karya Umar Kayam, ia baca dalam bahasa Inggris, Fireflies in Manhattan.

Awalnya, saya menuduhnya tidak mencintai Bahasa Indonesia, sampai akhirnya dia memaksa saya untuk membaca Catcher in the Rye, buku klasik berbahasa Inggris yang tipis, dan mudah untuk dinikmati. Saat itulah saya jatuh cinta pada sastra Inggris (bahkan menyesal kenapa saya tidak kuliah mengambil jurusan itu). Berawal dari Catcher in the Rye, kemudian karya-karya Ernest Hemmingway, Franz Kafka, Bret Easton Ellies-dan sebagian besar buku klasik dengan halaman tidak lebih dari 200 lembar, saya mulai tenggelam dalam tumpukan buku berbahasa Inggris.

Kemudian tema yang saya baca mulai bervariasi, saya mulai membaca buku-buku fantasi berbahasa Inggris seperti serial The Mortal Instruments, Vampire Academy, The Secret of Immortal Life merely karena saya tidak sabar menunggu buku-buku itu terbit di Indonesia. Pernah sekali karena merasa bersalah, saya membaca buku terjemahan ke bahasa Indonesia dan saya kecewa. Saat itu saya mulai mengalihkan hampir seluruh bacaan buku saya ke buku berbahasa Inggris-dengan masih setia menunggu karya Ayu Utami dan Dee Lestari.

Tumpukan buku yang dikumpulkan selama setahun terakhir



Namun dari segala buku berbahasa Inggris yang banyak beredar di dunia nyata maupun online, saya paling jatuh cinta dengan sastra Jepang. Penulis-penulis Jepang yang telah mendunia seperti Haruki Murakami, Banana Yoshimoto, Osamu Dazai, dan tentunya Eiji Yoshikawa seolah mengenalkan saya kembali pada diri saya sendiri. Segala yang tertuang di sana, kegelapan, perang pikiran, self-reflection (tapi bukan gaya hidup), adalah yang bisa memanifestasikan bagaimana imajinasi dan pikiran manusia biasa terbentuk. Bagaimana heroines memaknai hidupnya dan diceritakan dalam aktivitas manusia biasanya membuat sastra Jepang ordinary yet hearty. Begitu juga dengan Eiji Yoshikawa yang berhasil membuat sejarah kejayaan dan kejatuhan Jepang menjadi warisan kebudayaan dunia.

Sayapun tidak membatasi diri dalam membaca buku-buku populer yang menyandang nama Best Seller atau Winner Something, terutama segala sesuatu yang bertema perang seperti Nightingale (2015), All the Light We Cannot See (2014), dan favorit saya adalah a Thousand Splendin Suns (2007).

Bagi yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Medan, membaca buku bahasa Inggris bukanlah hal yang sulit. Toko buku import berkeliaran bebas di mall dan sering mengadakan sale hingga 70 persen di lobby mall. Bahkan saat saya sedang hunting buku, saya melihat beberapa kali seorang anak kecil merengek kepada ibunya untuk dibelikan buku tentang Frozen, One Directions atau Justin Bieber dalam berbahasa Inggris-dan tentunya yang membuat saya bernostalgia sejauh ini dan sengaja membahasnya ke dalam tulisan ini. Karena tentunya saya memiliki masa kecil yang sangat berbeda dengan anak kecil itu.

Akhirnya saya juga mengerti, tidak seperti yang  awalnya saya tuduhkan pada teman saya, bahwa membaca buku bahasa inggris bukanlah sama sekali sebuah bentuk pengkhianatan pada sastra Indonesia. Namun lebih karena di kota-kota besar, akses untuk membaca buku berbahasa inggris adalah sama mudahnya dengan buku berbahasa Indonesia. Bahkan di Gramedia Pondok Indah Mall, dan Grand Indonesia, bagian buku import juga mengambil space yang lumayan besar-yang berarti bahwa buku import juga merupakan niche market.

Jika berbicara soal harga, buku import memang jauh lebih mahal daripada buku berbahasa Indonesia karena nilai kurs mata uang kita tehadap valuta asing. Namun, saya sendiri sangat jarang membeli buku import baru yang ada di Mall kecuali memang sedang ada diskon. Sebagaian stock buku saya adalah buku bekas yang saya import bebas biaya kirim dari betterworldbooks.com

Meskipun akhir-akhir ini saya cenderung membaca buku bahasa Inggris, bukan berarti saya menyesal tidak mengenalnya lebih awal. Mungkin baru akhir-akhir ini saya menyukai When We Were Young, atau Pippi Longstocking (buku anak-anak klasik), namun   saya masih mencintai masa kecil saya yang tidak pernah berhenti membaca novel dan komik terjemahan yang dulu tidak pernah mampu saya beli. Melalui online, saya mulai mengoleksi judul-judul masa lalu seperti Candy-candy, Pansy, Topeng Kaca, Trio Detektif, Fear Street, dan lain-lain. Dan not surprisingly, meskipun sudah lama dan kadang dengan kondisi seadanya, buku-buku ini cukup pricey :(

Fear Street!

Basicly, saya membaca segala jenis buku dengan senang hati, dari Fujiko F Fujio hingga Jane Austen atau Charles Dickens. Dari R.L Stine, Remy Silado, hingga F.Scott Fritzgerald. In fact, jika ada yang bilang bahwa buku adalah jendela dunia maka saya sangat setuju tentang hal itu. Sebagian besar setting tempat dan waktu di dalam buku adalah benar-benar ada seperti Cinque Terre di Beautiful Ruins, Saint Malo di All the Light You Cannot See, bahkan hingga Akita-kampung halaman kakek Shinchan. Tanpa berada di sana, saya bisa membayangkan ambience atau struktur kota yang ada di sana.

Atau tidak perlu se-ekstim kota eksotis seperti Saint Malo, namun bagaimana kehidupan para jetset di California dalam buku Less Than Zero membuat saya menyadari bahwa California adalah wilayah tropis yang high class, dan full of party.

Oleh karena itu, buku adalah keajaiban bagi saya. Tulisan yang mampu merekam waktu, tempat, suasana, dan karakter dalam sebuah kisah--nyata atau tidak. Karena itu saya juga tidak membatasi diri dalam hal membaca buku, selama dalam bahasa yang saya mengerti. Inggris atau Indonesia, saya sama mencintainya. Harper Lee atau Pramoedya Ananta Toer, saya ngefans abis dengan integritas mereka.

Bagi saya, selama buku tersebut menawarkan pengetahuan bagi saya, mengenalkan dunia yang baru, atau menunjukkan sisi lain dunia yang saya kenal, saya sangat welcome. Selama buku itu memiliki makna, saya akan memberikan rating memuaskan (nb. saya tidak pernah memberi rating kurang dari 3 bintang pada sebuah buku, kecuali saya benar-benar terganggu dengan koherensi antar kata).

Karena itu ketika saya membaca buku best seller dari Indonesia yang membahas sebagian besar katalog barang branded, dan kehidupan metropolitan tanpa memberikan makna kecuali mimpi pada orang 'biasa' untuk menjadi seorang yang bukan dirinya, saya sedih. Dan moment itu pula yang membuat saya sedikit mengurangi membaca buku populer Indonesia.

Realize or not, sementara negara-negara barat sudah hampir berhenti mengobral cerita tentang Cinderella-mimpi si miskin pada si kaya, kita yang di timur masih fokus bercerita tentang mimpi menjadi social climber, atau kisah tentang rejeki durian runtuh. Mungkin karena kita di Timur masih bisa melihat jelas tembok besar yang memisahkan antara golongan atas dan bawah.

Hingga pada akhirnya, (meskipun terlalu cepat dan sembrono) saya berada pada kesimpulan bahwa buku -secara sadar maupun tidak-turut membantu membentuk kepribadian seorang pembaca. Saya dengan bangga mendeklarasikan bahwa saya telah membaca begitu banyak buku dari segala jenis genre, dan tema hingga pada akhirnya saya dapat memilah buku yang bergizi dan tidak. Dan bisa dibilang saya bangga menjadi book-nerd.

The best book is the one that give you a meaning while the best author is the one who could made you a better person thru his/her writing. As for me, the three-best author i ever met (in book) is Harper Lee, Osamu Dazai and Ayu Utami.

Harper Lee adalah orang yang memberikan saya kepercayaan terhadap kemanusiaan, Osamu Dazai adalah orang yang memberikan makna hidup, serta Ayu Utami karena telah mengajarkan untuk mengenali diri sendiri melalui tulisan.




Begitulah, bagaimana buku dan penulis mampu mempengaruhi hidup saya, bahkan juga kebijaksanaan dalam hidup. Hal itulah yang juga membuat saya, atau seharusnya penulis siapapun memikul tanggung jawab yang cukup besar saat mengguratkan pena atau mengetik huruf dan merangkainya dalam sebuah kalimat, hingga menjadi sebuah kisah.
So, that's what books and authors mean in my life.

Comments

Popular Posts