Mahasiswa, OSPEK dan Memory of Youth

OSPEK di alam terbuka sebagai ujung dari rangkaian OSPEK 

Berita tentang kematian mahasiswa baru di salah satu universitas swasta di Malang, Jawa Timur cukup menghangat di media-media baik cetak maupun sosial media. 

Sepertinya, semua orang terkejut, prihatin dan sebagian besar menuding bahwa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau yang biasa disebut OSPEK adalah sesuatu yang dipertanyakan manfaatnya.

Uniknya, meskipun kejadian semacam ini  terjadi berulang-ulang setiap tahun ajaran baru, setiap tahun juga orang-orang menghujat, namun masih saja ada korban yang berjatuhan. 

Terlepas dari kontroversial apakah ospek itu diperlukan atau tidak, aku mengambil sisi netral. Namun sebagai ex-mahasiswa teknik yang harus mengikuti rangkaian OSPEK, I have nothing to say instead terrific!!!

Dalam kenanganku, baik sebagai junior maupun senior, OSPEK is one of any other glorious memories of my youth. Don't judge me, I don't like vicious act, either mean words. Aku adalah tipikal orang yang tidak bisa mendengar bentakan. Dibentak sedikit pasti langsung nangis, bukan karena takut tapi lebih karena pengen bales bentak tapi ga bisa, ujungnya kesel dan mewek (baca : nangis).

Termasuk saat aku mengikuti Ospek sebagai mahasiswa baru, menangis adalah unavoidable thing. Aku inget banget saat itu adalah materi tentang sense of belonging. Sebelumnya, mahasiswa baru disuruh menyiapkan buku yang akan dibuat untuk mengumpulkan informasi tentang biodata senior, dan teman-teman mahasiswa baru. Namun karena diberi magical time limit, yang hanya bisa diselesaikan dalam kecepatan cahaya,  kami gagal memenuhi ekspektasi para senior, otomatis seluruh mahasiswa baru dijemur di bawah terik matahari, di tengah padang ilalang, sambil ditemani teriakan dan bentakan para senior tercinta.

Buku yang susah payah dibuat sehari semalam bersama dengan peluh keringat dan sejuta kedongkolan, tiba-tiba diancam untuk dibakar di depan mata kita. Segala bentuk doktrinasi disemburkan, bahwa mahasiswa baru tidak berguna, pemalas dan sejuta kata-kata merendahkan lainnya (in humanly way) diteriakkan untuk memancing emosi kami.

Kemudian puncaknya,ketika slayer (scarf) dan keplek kami yang disimbolkan sebagai identitas, dan kebanggaan akan jurusan, direnggut dari mahasiswa baru kemudian dibakar. Saat itu, entah senior yang pandai menciptakan suasana, atau memang rasa 'sense of belonging'ku tinggi, rasanya seperti sedang menyaksikan bendera merah putih dibakar oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Marah dan kesal, aku merebut buku dari senior, tarik menarik dan berakhir dengan aku yang menangis. Ya, ya, ya, as I remember, I am the only one who crying that time. Sementara teman-teman seangkatanku, yang entah sudah mengerti alur drama yang diciptakan para senior, atau memang tidak mau ambil pusing, banyak yang memilih berdiri diam. Beberapa ada yang ikut merebut tapi ga pake nangis (yay!!! i am officially cengeng!!).

Saat itu, kesal dan emosi namun aku mulai mengerti dan memiliki pride akan jurusanku. Selain itu juga secara tidak langsung membangun solidaritas dengan teman-teman seangkatanku. Sense of belonging tidak cuma pada jurusan, tugas, namun juga teman-teman seangkatan (jangan disalah artikan sebagai posesif ya). 

Lulus dari masa OSPEK, aku dan teman seangkatanku solid as a rock bahkan like brothers and sisters, saking dekatnya kami seangkatan, dan betapa tingginya penghargaan kami atas diri sendiri, kami menyebut diri kami gold generation. Sebutan itupun bukan karena kesombongan semata, namun karena beberapa achievement, dan breakthrough yang kami ciptakan, melebihi angkatan-angkatan yang lain (daaaaan aku lupa apa saja achievement nya ;p).

Berangkat dari keberhasilan kami menjadi mahasiswa baru yang bangga akan jurusan, dan angkatan kami, di tahun kedua adalah saatnya kami menjadi senior, dari situlah kami benar-benar belajar menjadi senior sesungguhnya. Senior dalam artian dewasa, dimana ajang ospek bukan dijadikan media untuk balas dendam atau menidak-manusiakan para junior. Keberhasilan ospek tidak hanya dinilai dari bagaimana junior menerima materi yang ingin disampaikan, namun juga bagaimana senior berperan sebagai senior sesungguhnya.

Gondrong, kostum wajib senior serem
Well, trust me, tidak mudah menjabat menjadi senior yang bertugas mewariskan idealisme, peran dan visi kepada junior. Untuk idealism, aku menyerah. Dulu, aku adalah mahasiswa horee, aku tahu tentang peran mahasiswa sebagai agent of change, aku membaca tentang perkembangan bangsa di koran, tapi aku tidak fanatis dengan Che Guavara, Tan Malaka or any other cool figure to be followed.But I think it is fine, aku tidak menyesal tidak menjadi salah satu mahasiswa yang berteriak di depan gedung DPR membela hak kaum minoritas.

Yup, idealism is an expensive thing, it is so hard to buy till so many people faking it. I can't buy idealism that time, but i don't need to faking it. It will come by the time.

Idealisme adalah salah satu hal lain yang tidak hanya terbentuk melalui ospek, karena kembali ke esensinya, ospek adalah untuk pengenalan jurusan.

Meskipun gagal mendapatkan idealisme mahasiswa sebagai agent of change, namun aku merasakan dengan nyata perbedaan antara mereka yang tidak mengikuti ospek atau tidak. Kalau mungkin orang menyanggah 'b*llshit*, it is fine namun let me say this way. I can't guarantee 100%, but 95% solidarity, sense of belonging, or any other communication skill is formed during the OSPEK. Bukan berarti orang yang tidak ikut ospek tidak memiliki kualitas itu, NO! chance is (s)he have it or not, given.

Bahkan, jika aku bertanya pada teman-teman seangkatanku, atau any other mahasiswa teknik bahkan dari universitas lain, they are proudly admit that OSPEK is one of the best thing happen in college time.

Kembali lagi apakah OSPEK masih perlu ? It is very dependable on the curriculum, seniors, and way of education. Rasanya seperti nila setitik rusak susu sebelanga jika menanggap OSPEK itu tidak berguna, sama halnya menyelesaikan masalah tanpa mengidentifikasi akar permasalahannya.

Jika diminta bersaksi , aku pikir akan banyak ex-mahasiswa, atau senior yang akan memberi kesaksian positif ospek sangat berguna. Bukan untuk meneruskan tradisi, atau ajang balas dendam, mungkin caranya saja yang perlu dimodifikasi.

Mengapa dalam rangkaian ospek selalu berujung pada camping di alam terbuka? karena disitulah tempat manusia paling vulnarable, dimana dia tidak dapat mengandalkan apapun yang telah memudahkan hidup manusia selama ini, namun hanya temannya, seniornya. Dan lagi, terperangkan di alam terbuka selama lebih dari 24 jam, manusia akan mengeluarkan sifat aslinya, dari situlah mahasiswa (yang dianggap sebagai manusia menginjak kedewasaan) diajarkan nilai-nilai untuk menjadi manusia sosial.

Sesungguhnya sangat mulia bukan? bahkan kalau aku bilang sebuah pengalaman yang mahal. Tidak semua orang bisa merasakan pengalaman seperti itu. It is once in a lifetime.

Namun, kadang, seperti boomerang. Dari ospek tersebut, mahasiswa baru keluar menjadi manusia berkelompok dengan harga diri tinggi. Entah benar-benar ada korelasinya atau tidak, namun dipercaya bahwa mahasiswa teknik (yang nota benne mengalami ospek yang 'serius') memiliki ego jurusan melebihi rata-rata. Kesolidan, dan rasa memiliki jurusan kadang membuat mereka merasa 'lebih' dari mahasiswa non-teknik. Entah lebih kuat, lebih pintar atau lebih tangguh di lapangan. Believe it or not, employer lebih menyukai pekerja dengan pendidikan teknik daripada non-teknik. Yah, event me, I have a pride of engineer meskipun ujung-ujungnya aku tersesat di non-engineer-field.

Well, kembali lagi ke masalah per-OSPEK-an. Tentu tujuan utama OSPEK bukan untuk disombongkan saat seorang mahasiswa sudah lulus. Kembali lagi, Ospek adalah pengenalan jurusan, kehidupan seorang mahasiswa, dan kepekaan mahasiswa terhadap masalah sosial. Karena saat manusia melangkah ke gerbang perkuliahan, di sana dia menjadi manusia independen, berfikir dan bertindak untuk diri sendiri karena itu sangat penting bahwa pendidikan di masa kuliah tidak hanya tentang materi perkuliahan, namun juga peran ia sebagai manusia individu dalam sebuah lingkup masyarakat.

I might be realized that when the time I am in college. But involuntary, my sense of social developing fast that time. I can't define it, but that moment formed me as the way I am right now.

Just stop act violence, dan alangkah lebih baik jika civitas akademika kampus lebih banyak terlibat dalam membentuk EQ mahasiswanya sehingga beban tidak paling berat berada di para seniornya.

Well, that's all rubbish!








Comments

Popular Posts