Commet, e-ticketing system, Pemenang Best Innovation Product dari BUMN Award


Suasana stasiun Commuter Line, Tanjung Barat
Hampir setiap pagi, saat aku tiba di kantor kemudian menaruh tas di meja, aku selalu mendengar pembicaraan berapi-api Ibu-ibu sebelah. Hampir setiap pagi yang dia bicarakan adalah keluhan, keluhan tentang kereta yang penuh, kereta yang telat, kereta yang gangguan signal, kereta yang mogok, dan segudang masalah lainnya. Selalu ada cerita darinya tiap pagi dan semuanya bersumber pada satu penyebab, Commuter Line Jabodetabek.  

Ternyata bukan cuma Ibu sebelah mejaku yang pernah patah hati karena pelayanan Commuter Line (kalau masih bisa dibilang patah hati sih, mungkin kata tepatnya adalah hatinya hancur berkeping-keping seperti butiran debu *Lebay*). Hampir semua pekerja di kantorku yang menggunakan Commuter Line sebagai sarana komuting dari dan keluar Jakarta, sepakat bahwa pelayanan Commuter Line sangat heart-breakening. Bahkan beberapa orang sempat memberikan panggilan 'sayang' pada moda transportasi andalan ini yaitu Kereta Setan. 

Begitu banyak yang dikeluhkan, begitu banyak pelanggan yang terluka hatinya, namun Commuter Line adalah satu-satunya moda yang (kadang) paling cepat untuk menyentuh daerah-daerah tertentu di Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di kota-kota satelit Jakarta, kereta adalah satu-satunya moda yang paling menghemat waktu tempuh dibandingkan moda apapun, karena itu meskipun sangat tidak baik untuk kesehatan hati, para penumpang tidak memiliki pilihan lain selain memilih moda ini karena bagi pekerja Jakarta, time is money, time is family, time is priceless.

Mengenai pelayanan apa yang membuat penumpang Commuter Line patah hati, tidak akan kujelaskan dengan detail di sini karena aku percaya bahwa transportasi apapun, dimanapun, selama di Indonesia memang sedang merangkak belajar untuk menyenangkan penumpangnya, terutama transportasi yang melayani masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah hingga ke bawah.Transportasi darat, laut, railway dan sebagian dari udara, masih sedang belajar mengubah paradigmanya dari product centric menjadi customer centric. Dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan transportasi hingga belajar untuk memberikan kepuasan pelanggannya.
Design e-ticket Commet

Namun hal lain yang menggeletikku adalah tentang keluhan paling anyar dari Ibu di sebelah mejaku. Pemberlakuan e-ticket Commuter Line yang disebut dengan Commet. 

Menilik dari design kartu dan pemilihan namanya, I am impressed! Aku melihat sentuhan 'anak muda' di sana, karena sebelumnya aku sempat skeptis dengan design kartu yang dikeluarkan BUMN ini. Awalnya aku menduga kartu itu akan bergambar foto dari kereta komuter, seperti kartu telepon jaman tahun akhir 90'an dulu.

Kembali lagi ke keluhan Ibu meja sebelah, dia menceritakan bahwa sejak pemberlakuan commet menimbulkan antrian panjang baik di loket maupun portal untuk masuk ke area tunggu stasiun karena di sana calon penumpang harus melakukan 'tapping' ke reader. 

Tentu antrian panjang itu menimbulkan keresahan tersendiri bagi calon penumpang. Selama ini calon penumpang menggunakan kereta dengan setengah hati ditambah lagi melihat antrian panjang dan kekacauan sebelum naik kereta, sehingga penumpang semakin frustasi dan kebencian pada commuter line semakin menumpuk-numpuk dan pada akhirnya mereka melihat teknologi baru ini hanya menambah kerepotan penumpang.

Sekali lagi, PT KAI sebagai issuer kartu commet ini jadi bulan-bulanan penumpang. Istilahnya menyiram garam pada luka yang belum kering (ceilee..).

Di awal peluncurannya di bulan Juni, seperti yang diduga, terjadi chaos  terutama saat peak hours. Calon penumpang yang belum well-sociallized ditambah dengan minimnya informasi, dan petugas yang hanya segelintir, membuat antrian masuk stasiun di hari pemberlakuan e-ticket seperti antrian pembagian daging kurban. 

Menganggap belum siap, PT KAI akhirnya menunda peluncuran hingga di awal Juli. Untuk sementara sosialisasi e-ticket dilakukan saat non-peak hours, di peak hours penumpang masih menggunakan ticket kertas (yang harus dipegang sampai keluar stasiun lagi karena jika hilang akan didenda 50rb!). 

Namun ternyata, penundaan itupun tidak berjalan mulus juga, keluhan disana sini masih terdengar. Di mata penumpang, e-ticket ini PR banget. "Kenapa sih pake sistem baru segala kalo cuma bikin repot?" Begitulah komentar beberapa penumpang setia commuter line.

Penasaran, akhirnya aku mencoba menaiki commuter line yang notabenne bukan merupakan moda pilihanku (due to limited destination). Karena tidak memiliki waktu di hari kerja dan peak hour, aku mencoba di hari kerja di non-peak hours.

Memang tidak ada antrian karena bukan peak hours, namun saat membeli ticket, aku menyadari keberadaan anggota baru yaitu mesin warna merah yang ada di loket penjualan ticket. Aku tidak menduga kalau mesin itulah yang akan mengeluarkan e-ticketku (single trip). Prosesnya masih sangat manual yaitu aku membayar sejumlah uang kepada penjaga loket, kemudian dia melakukan sesuatu di komputernya yang aku duga sebagai memasukkan data asal-tujuanku dan harga tiket, kemudian tidak lama ticket keluar dari mesin merah itu. Kenapa sangat manual? akan kujelaskan nanti.

Kebetulan aku mencoba Commuter Line tujuan Depok-Sudirman, dan aku naik dari stasiun Tanjung Barat. Dari transaksi di loket aku menyadari bahwa dengan pemberlakuan e-ticket ini, penumpang dengan jarak tempuh dekat akan dapat menghemat lebih banyak. Jika sebelumnya tiket kereta commuter line dijual rata jauh-dekat, dengan e-ticket penumpang cukup membayar sesuai dengan jarak yang ditempuh. Sangat adil, dan aku menambahkan good point dalam sistem ini.

Setelah transaksi di loket aku berjalan pada area masuk ke ruang tunggu yang dijaga oleh beberapa penjaga keamanan. Sebelum masuk aku dihadang dan diminta untuk meletakkan kartu di mesin pembaca, kemudian menunggu mesin itu membuka dan mengizinkan aku masuk ke ruang tunggu. Proses membaca kartu pun tidak terlalu lama (jika dibandingkan mesin pembaca di TransJakarta), namun tidak cukup cepat bagi  orang-orang yang menyayangi waktu. 

Uniknya (baca: anehnya), pemblokiran jalan masuk tersebut tidak dilakukan sepenuhnya. Penumpang masih bisa keluar masuk ruang tunggu / platform tanpa melalui reader itu. Asumsiku, pengelola stasiun masih berjaga-jaga in case readernya ngambek dan penumpang chaos, sehingga masih disediakan space untuk keluar masuk tanpa melalui mesin tersebut.

Tap and Go, sistem e-ticket yang baru diadopsi PT KAI
Setelah tapping, petugas menginformasikan bahwa e-ticket tersebut harus aku simpan karena akan digunakan sebagai akses untuk keluar dari stasiun tujuanku.
Aku tidak keberatan karena sebagai orang yang paling cepat menghilangkan barang, kartu tersebut lebih aman dari hilang daripada selembar kertas mungil (dan tidak menarik) yang sebelumnya digunakan sebagai tiket. 

Kemudian pertanyaanku adalah, jika seandainya di tengah jalan aku berubah pikiran, dari awalnya aku akan turun di stasiun Sudirman kemudian aku ingin turun di Manggarai (yang nota benne jaraknya lebih dekat), apa aku bisa keluar menggunakan kartu itu?
Tidak siap dengan pertanyaanku, petugas hanya menyarankan kalau aku tidak berubah pikiran karena jika aku berubah pikiran, aku harus kembali ke loket dan menukar kartunya untuk diisi data tujuanku yang baru. 
Wow! bahkan kebebasanku untuk berubah pikiran tidak diberi ruang di sini! Entah petugas yang salah informasi atau memang demikian adanya, aku merasa sedikit khawatir dengan 'sistem data' dalam tiket yang kupegang saat itu. 

Ruang Tunggu Stasiun Sudirman Jakarta
Lepas dari ruang tunggu, aku menaiki commuter ku dan tidak merasakan perbedaan signifikan dengan pelayanan yang sebelumnya, kecuali tentu saja tidak ada petugas penarik tiket yang membangunkan penumpang tidur di atas kereta. 

Sesampai di stasiun Sudirman (yang baru pertama kali kujejak meskipun keberadaannya sangat dekat dengan kantorku), aku melihat jajaran mesin pembaca di pintu keluar. Kali ini blokade mesin tersebut sudah menutup seluruh jalan sehingga tidak ada celah bagi penumpang untuk lolos dari mesin itu sebelum 'bertransaksi' dengan mesin. 


Jika saat berangkat penumpang harus tapping, saat keluar penumpang harus memasukkan kartu itu ke dalam mesin. Jadi, saat keluar dari stasiun, penumpang tidak lagi memegang kartu. 

Keluar dari stasiun, aku tidak bisa menahan diri untuk menilai sistem e-ticket tersebut. 

Diklaim sebagai The Best Product Innovation for Logistic & Transportation dalam BUMN Award, e-ticket tersebut telah membawa prestise bagi jajaran management PT KAI di mata BUMN-BUMN yang lain. Namun sebagai pengguna, apakah e-ticket tersebut merupakan best innovation?

Sekali lagi, aku akan memberikan gambaran bagaimana sistem transportasi di negara tetangga, Singapore. Sama dengan commuter line, pengguna MRT di Singapore juga menggunakan e-ticket yang berupa kartu. Bentuk kartu itu sendiri, secara jujur aku lebih menyukai design dari Commet yang sangat anak muda. Dari segi material, kartu MRT untuk single trip  berupa kertas yang agak tebal. Namun okenya, kartu single trip tersebut bisa digunakan sampai 10 kali trip ditambah lagi, meskipun berupa kertas, saat di tap kartu tersebut sangat responsif, sama sekali tidak ada delay sehingga bagi Singaporeans yang selalu time-saving, kartu itu sangat menjawab kebutuhan mereka. 


Pengaturan antrian di platform MTR Singapore sehingga tidak ada desak-desakan lagi

Dari cara pembelian kartu tersebut, sudah dilakukan secara fully automatic. Saat masuk ke area stasiun, di sana tersedia banyak semacam vending-machine yang menjual ticket. Dalam mesin tersebut terdapat layar yang menampilkan peta dengan titik-titik stasiun yang melayani area peta tersebut. Calon penumpang cukup menyentuh titik tujuan kemudian mesin akan menghitung biaya perjalanan menuju ke sana. Calon penumpang diminta memasukkan uang ke dalam mesin, dalam waktu singkat kartu akan keluar dan siap digunakan untuk perjalanan. Jadi, tidak ada petugas di sana, hubungan transaksi dilakukan antara penumpang dan mesin. 

Bagi beginner yang terbiasa menggunakan teknologi, tentu mesin itu sangat time saving dan praktis. Namun bagi pengguna yang tidak bisa menggunakan mesin dan tidak memiliki pecahan uang kecil, bisa berjalan ke loket dan bertransaksi dengan petugas. 

Nah, jika di tengah jalan penumpang berubah pikiran tentang arah tujuannya, penumpang tidak perlu pergi ke loket lagi. Sistem data yang disimpan di dalam kartu tersebut merupakan balance-based atau berdasarkan saldo nominal yang dimasukkan ke dalam kartu. Jika jarak kita lebih dekat, tentu akan ada saldo tersisa yang bisa digunakan lagi. Jika lebih jauh, penumpang memang terpaksa melakukan pembelian lagi di vending machine tersebut. Tentu sistem ini lebih fleksibel.


Jaringan Airport Express di Hong Kong
Berbeda dengan Singapore, sistem ticketing di Hong Kong jauh lebih advance. Jika di Jakarta bernama Commet, kartu ticketing MTR di Hong Kong disebut Octopus. Yup, a very catchy name. Pemilik kartu Octopus ini sangat dimanjakan oleh berbagai moda transportasi di Hong Kong. Pemegang kartu octopus bisa mendapatkan potongan harga jika melakukan perjalanan menggunakan Airport Express, jaringan kereta api dari bandara menuju pusat kota Hong Kong, juga saat menggunakan SkyTram-jaringan Tram menuju the Peak. 

Seluruh moda transportasi di Hong Kong telah diintegrasikan dari Bus, Tram, subway, bahkan hingga ke pesawat sehingga penumpang seperti tidak merasakan berpindah moda saat melakukan perjalanan. 

Namun kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah Commet ini memang layak disebut best product innovation?

Well, I guess I said yes. Bagi pengguna Commuter line yang sangat heterogen dari berbagai kalangan dan latar belakang, Commet ini merupakan inovasi yang menjawab karakteristik pengguna commuter line. 

Loket yang half-automated aku anggap sebagai bentuk penyesuaian KAI kepada pengguna commuter line yang heterogen. Initial Socialization, karena jika KAI langsung meminta penumpang bertransaksi langsung dengan mesin, akan bisa dibayangkan betapa berkali lipat chaosnya antrian di stasiun. 

Kemudian untuk mesin tapping yang tidak sangat cepat, kupikir juga cukup menjawab kebutuhan penggunanya yang tidak semuanya time-oriented. Kadang jika mesin bekerja terlalu cepat, manusianya juga akan dituntut untuk lebih responsif.
Secara umum, eticket Commet merupakan terobosan 'tanggung' yang sangat menjawab karakteristik penumpang Commuter Line.

Papper-less ticket system yang diadopsi juga cukup mengedukasi masyarakat kita untuk lebih tanggap terhadap teknologi.
Terkait dengan kekacauan yang terjadi karena antrian akibat sistem baru tersebut, from my point of view merupakan satu hal yang sangat wajar dan secara umum tidak perlu didramatisir (terutama oleh media). Masyarakat masih memerlukan waktu untuk mempelajari sistem baru dan akan selalu ada suara sumbang dalam suatu pengenalan sistem baru. 

Resistensi, ya masyarakat kita adalah orang-orang yang masih terlalu takut dengan teknologi baru, dan lebih menyukai menyalahkan orang lain untuk hal baru yang diperkenalkan. Seperti saat TransJakarta akan dibangun, begitu banyak masrakat dan pihak tertentu yang mengkritisi kebijakan Gubernur Sutiyoso tersebut. Dari kemacetan yang sangat parah, sengketa lahan, ketakutan akan sopir yang ugal-ugalan, begitu banyak suara sumbang yang menolak adanya TransJAkarta. Namun inovasi dan keberanian dari Sutiyoso saat itu yang pada akhirnya membuat rakyat Jakarta untuk pertama kalinya mempunyai Alat transportasi massal di tahun 2004.

Namun pertanyaan berikutnya adalah sampai kapan masyarakat kita akan terus dimanja karena ketakutan pemangku kebijakan pada sifat resistensi masyarakat tersebut? sampai kapan sistem semi otomatis ini akan dijalankan? Sudah saatnya masyarakat kita melayani diri sendiri, dan tidak bergantung pada petugas yang stand-by untuk menjawab setiap pertanyaan (tidak penting) pengguna jasa. Bahkan untuk urusan sangat mendasar, sudah saatnya masyarakat kita belajar untuk mengantri dengan tertib  baik saat membeli tiket ataupun sebelum masuk kereta. 

Suatu saat, semoga tidak lama, stasiun-stasiun itu akan diisi oleh mesin-mesin penjual tiket otomatis, tidak akan ada lagi petugas yang berdiri dan berbaik hati menempelkan kartu penumpang ke mesin pembaca, penumpang juga harus bisa membaca jadwal kereta dan arah secara mandiri, tidak perlu bertanya pada petugas lebih-lebih minta ditunjukkan arah, dan terlebih tidak ada lagi acara desak-desakan dan dorong-dorongan saat masuk akan masuk ke kereta, sama seperti di Singapore, penumpang mengetahui dengan baik garis antrian bukanlah ornamen untuk mempercantik lantai melainkan untuk mengatur agar antrian lebih tertib dan aman.

Penumpang harus bisa melayani diri sendiri, dan berhenti bersuara sumbang hanya karena ketakutan akan sistem baru. Berhenti menyalahkan institusi yang dikatakan minim sosialisasi, sudah saatnya menjadi penumpang yang bijak dengan mencari tahu secara mandiri.

Aku tidak tahu berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk mendidik penumpang menjadi mandiri. Namun kupikir ini bukan hanya pekerjaan rumah bagi institusi penyedia jasa, namun juga media cetak maupun elektronik. Sudah saatnya media mulai menjadi obyektif, memberikan edukasi bukan menjustifikasi. Media berhenti memberitakan dari 1 sisi, seperti chaos yang diakibatkan sistem baru, namun di sisi lain media juga bertanggung jawab memberikan wawasan akan sisi positif dari suatu sistem baru yang diperkenalkan.

E-ticketing ini kuanggap sebagai inovasi yang memberikan edukasi bagi masyarakat untuk menjadi pelanggan yang mandiri. Kalau rakyat Jakarta dengan semangat meluap-luap menyambut dibukanya retail swedia terbesar-IKEA yang dikenal luas dengan sistem self-servicenya, seharusnya rakyat Jakarta (dan sekitarnya) juga menyambut sistem e-ticketing Commuter Line dengan semangat yang sama, apalagi commuter Line merupakan milik Pemerintah Indonesia sendiri!

Selanjutnya, aku akan menunggu inovasi baru lagi yaitu integrated ticketing system antara TransJakarta-Commuter Line, dan soon Airport Express! Be ready, and educated customer, dear Jakarta!



I blog with BE Write

Comments

  1. lumayan lengkap liputannya. apalagi ada data pembanding dr 2 negara

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts