The Pedestrian's Rights

Lahan hijau di setiap sudut Singapore


I really love walking, and I am speed walker! Tidak peduli panas, atau hujan, selama jalan yang kutempuh aman dan nyaman, aku akan lebih memilih berjalan. I proudly call my self as pedestrians.

Namun the big Q nya adalah apakah ada trotoar di Indonesia yang bisa memberikan keduanya, aman dan nyaman? Well, ada namun tidak banyak. 

Ketika dulu masih tinggal di Surabaya, sesaat aku pernah merasakan menjadi penduduk Surabaya di bawah pemerintahan walikota Surabaya, Ibu Risma Harini. Jarang-jarang aku bisa mengingat nama walikota (pardon my minimum storage of memory) kecuali mereka yang mampu memberikan dampak yang secara langsung bisa kurasakan. 

Ibu Risma, walikota perempuan jebolan asitektur ITS Surabaya, sebelum menjadi walikota pernah menjabat sebagai pimpinan di dinas pertamanan kota Surabaya.  Entah karena ‘pertamanan’ adalah passion nya atau memang karena dia perempuan, namun di bawah pemerintahan beliau, Surabaya berubah menjadi kota yang (from my opinion) cukup nyaman bagi pejalan kaki. Beliau melakukan beberapa perbaikan trotoar, menghidupkan kembali taman-taman kota yang mati suri, dan yang paling kontroversial adalah menaikkan pajak reklame sebagai strategi diinsentif. 

Salah satu trotoar yang dulu paling kusukai adalah yang melintas di depan area Surabaya Plaza dan RRI Surabaya (Jalan Pemuda) karena trotoarnya cukup lebar, bersih dan nyaman. Tidak ada PKL di sana, dan rutenya yang cukup panjang dari ujung ke ujung jalan pemuda.
Hanya itu saja yang bisa aku ingat dari nyamannya trotoar di Indonesia. Trotoar di kawasan Simpang lima Semarang juga cukup lebar dan bersih namun sayangnya saat malam, PKL mengokupansi trotoar dan menyingkirkan hak para pedestrian.

Rambu-rambu khusus untuk pejalan kaki

Di Jakarta, jantung kota- Jalan Sudriman-Thamrin juga memiliki trotoar yang lebar, dan beberapa titik cukup nyaman. Nyaman dalam hal ini adalah ketinggian yang sama, dan tidak berlubang-lubang. Namun sayangnya, saat memasuki peak hour dan antrian kendaraan mulai muncul, trotoar dijadikan track uji keahlian para biker untuk menembus kemacetan. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, mungkin sedang memvisualisasikan hasrat game GTA ke dalam alam nyata.
Selain dijadikan  fast-track yang sudah diketahui seluruh umat baik Indonesia dan tetangga Negara kita, trotoar juga dijadikan lahan terbuka untuk membuka dagangan baik yang temporer maupun permanen. I’m not trying to be mean, tapi jika kita melihat fungsi trotoar secara harfiah adalah dibangun khusus untuk para pejalan kaki, bukan untuk lahan belanja, apalagi kendaraan bermotor.

Karena saking kesalnya, kadang orang memilih menaruh pot permanen yang besar di sisi trotoar untuk menghalangi Pedagang Kaki Lima berjualan di sana. Tidak kalah kreatif, pedagang tetap berjualan di sisi jalan, sementara tempat duduk untuk pembeli di taruh di sela-sela pot di atas trotoar. Seperti Tom and Jerry, Sylvester and Tweety, kisah perdagangan diatas trotoar tidak pernah ditemukan pemenangnya.
Terlepas dari itu semua, kembali lagi pihak yang paling dirugikan adalah Pedestrian. Sebagai pejalan kaki kita tidak memiliki pilihan untuk mengalah pada keberadaan motor, PKL atau pot-pot yang memakan lahan.
Minggu lalu, 3rd week of May 2013 aku melakukan little runaway ke Singapore yang turn out benar-benar menjadi runaway.

Saat di sana, aku tidak memiliki itinerary ataupun scheduled plan. Kesempatan itu benar-benar aku manfaatkan untuk menikmati Singapore dari sisi seorang Pedestrian.
Ya, Singapore adalah Negara maju, jadi sedikit membandingkan Indonesia dengan Singapore menjadi tidak apple-to-apple. Tapi kita masih bisa belajar dari mereka.

Pedestrian walk di area pemukiman

Layaknya Negara maju, Singapore memiliki tata kota yang sangat teratur dan ‘mapan’. Area pemukiman, perkantoran, pertokoan, lahan hijau terzoning dengan baik. Namun yang paling membuatku nyaman berada di sana adalah trotoarnya. Bahkan, di pemukiman terkecil pun, aku bisa menemukan trotoar yang bersih, nyaman dan aman.
Menginap di pemukiman di belakang Orchard, aku memilih moda MRT sebagai sarana utama mengukur jalanan Singapore. Perjalanan dari pemukiman ke stasiun MRT berjarak sekitar 800 meter namun terasa seperti 200 meter. Di sepanjang jalan, meskipun tidak terlalu lebar,  terdapat trotoar untuk pejalan kaki dengan ketinggian yang hampir sama, kalaupun ada perbedaan namun tidak terlalu significant. Di setiap persimpangan jalan, terdapat zebra cross.
Yang paling menarik dari trotoar di Singapore adalah betapa pemerintah sangat perhatian terhadap keselamatan pedestrian. Rambu-rambu tidak hanya ditujukan kepada pengendara kendaraan bermotor namun juga para pejalan kaki.
Selain itu, meskipun Singapore memiliki lahan yang tidak terlalu luas, namun pemerintah tidak menjadikannya sebagai excuse untuk mengurangi lahan hijau menjadi lahan yang lebih komersil. 
Pohon-pohon yang tertanam juga bukan pohon-pohon yang baru saja ditanam, namun pohon-pohon tua yang memang dipertahankan dari lama. Hal ini menunjukkan bahwa rencana pembangunan kota tidak tambal sulam, namun benar-benar terencana dari awal. Seperti kata dosenku dulu, perencanaan seharusnya adalah rencana pembangunan, bukan pembangunan yang diikuti rencana. 

Di setiap perempatan, bahkan yang terkecil terdapat crossing

Terbang beberapa ratus kilometer dari Singapore, aku teringat dengan kondisi trotoar di Hong Kong, Sebagai kota favoritku, as pedestrian, Hong Kong  kujadikan sebagai kota yang paling perhatian terhadap para pejalan kaki.
Karena Hong Kong adalah kota yang memiliki intensitas tinggi  badai, pemerintah sengaja mengharuskan setiap gedung memiliki jalan khusus untuk pejalan kaki yang terkoneksi dari satu gedung ke gedung lain, dan dari gerbang MTR satu ke gerbang yang lain.

Jika berada di downtown, pejalan kaki bisa memilih untuk berjalan tanpa terkena sinar matahari sedikitpun selama24 jam. Koneksi antara gedung satu ke gedung lain di buka 24 jam, dan tidak selalu berada di underground. Bahkan ketika berjalan dari stasiun MTR  Admiralty jam 11 malam menuju hotelku yang berjarak sekitar 2 km jika melalui jalan biasa, aku bisa melewati jalan interkoneksi dari gedung satu ke gedung lain, melewati mall Pacific Place, Hotel Conrad dan Shangri-la. Khusus di Pacific Place, aku bisa berjalan-jalan diantara deretan toko-toko yang sudah tutup. 
a very spacey sidewalk di Singapore

Yang aku pertanyakan adalah bagaimana para pemilik gedung mempercayakan keamanan gedungnya kepada public. Tidak ada pemeriksaan dari security dan tidak ada metal detector yang super posesif. Pemilik gedung memiliki prejudice bahwa tiap pedestrians tidak memiliki maksud yang buruk terhadap properti mereka, termasuk merusak atau mencoret-coret fasilitas umum.
Well, belajar dari kedua Negara tersebut, mungkin masih dibutuhkan milestone yang panjang untuk bisa mewujudkan mimpi memiliki pedestrian walk yang nyaman, bersih dan aman di Indonesia.

Sambil berharap akan ada Rismaharini I, II dan seterusnya, yang memimpin kota dengan memperhatikan kenyamanan dan keindahan kota, kita bisa ikut berjuang dengan mengembalikan trotoar pada fungsinya semula. 

Berhenti menaikkan motor ke trotoar, berhenti membuang sampah di sepanjang trotoar, dan berhenti merusak tanaman di trotoar adalah salah tiganya. Jika mau ekstrem, kita juga bisa menanamkan pada diri kita untuk berhenti membeli makanan di PKL di atas trotoar.
Jangan pernah ragu untuk merubah keadaan di sekitar kita, meskipun hanya diri kita sendiri yang melakukannya. Naïve to say, I always believe that change is always started from ourself, our heart and our principle.
Bring back the pedestrian’s rights! Stop abusing the sidewalk. Let the Government do their part, we can do our part at fullest!


Sebuah angkot bahkan bisa naik ke trotoar
More like this:
Menumbuhkan Benah Cinta Kebudayaan Tradisional Indonesia
Kisah Jakarta dan genangan airnya
Good News from Indonesia Economy?
Dream of Indonesia Part I
Dream of Indonesia Part II


I blog with BE Write

Comments

Popular Posts