to be left behid

Oh, it's on the warmest night
It's in the brightest light
It's when the world is moving
Oh, it's in the faintest cry
It's in the lover's eye
Is when I need you most
And don't you know?
Imagine Dragons-It’s my Fault




It’s a sunny afternoon, the sun is almost go down leave the red sparks on the horizon. The weather is warm but the wind blows coldly, swept the empty heart to the coldest loneliness. It is always my favorite time of the day. The Red-orange ray is the color that could warm and bring my heart in peace. The day almost dark, and human’s duty in this life almost come the end. A duty to make living, not only to survive it.

Aku ingat, hampir setiap 1 bulan sekali, di hari kamis sore pada saat yang sama dengan hari ini, Ibuku-aku memanggilnya Mommy, mencengkeram lenganku dan mengajakku ke tempat ini. Ke tempat paling sunyi di kota manapun di dunia ini. Seolah ketenangan itulah yang ditawarkan kehidupan yang ada di sana, ketika tugas manusia di dunia ini telah usai. Tempat dimana hidup manusia akan berakhir.

I never met the man that I came to visit him every thursday. He was there, lied peacefully inside the ground for almost 40 years ago. But he is blood related to me, and always be my mother –whole  world. He is my grand parent, a wise man that his name is still spelled in my mother every pray.

Namun hari ini aku tidak berhenti di sana, akhir-akhir ini aku hanya melewatinya. Sesaat aku akan menatap batu nisan yang tertancap di atas tanah merah itu. Batu yang jauh lebih tua usianya daripada kehadiranku di bumi ini.

I keep walking, still gazing that stone and knowing that deep in my heart I will regret my decision to not visit my grandparent. I never met him but I love him without realize it since when it happens. That’s the amazing of blood relationship thing. They said, blood is always thick.

Hari ini aku akan berhenti di rumah baru orang yang paling kusayangi di muka bumi ini. Orang yang telah mencabut hatiku hingga ke ujung akarnya dan meninggalkannya menganga, tidak pernah mampu untuk menutup kembali. Bukan, bukan Ia yang mencabutnya, tapi kepergiannya yang mencabut titik pusat kebahagiaanku ada di dunia ini.

The soil is red, and wet though the sun is very bright this day long. Like someone or some force keep it fresh and muddy every time no matter how dry the wheather is. I sit in there, beside the stone which carved with a very familiar name in my mind, memory and life. I used to write that name in almost every form of regristration. Till now, i still write that name, but I add another suffix for that name. A suffix that i won’t believe i will put in front of that name.

Aku tidak tahu harus melakukan apa di sini. Berdoa, ya aku harus berdoa untuk dia yang terbaring di sana dengan senyuman yang tidak akan pernah bisa terhapus dalam ingatanku. Aku berdoa dan terus berdoa, namun aku tidak mengingat apapun. Pikiranku berkeliaran, tanah di hadapanku mematahkan kembali kenyataan yang selama ini berusaha aku jalani. Semua orang bilang aku harus ikhlas, ya aku ikhlas, karena kepergian orang yang paling kusayangi itu, aku percaya yang terbaik Tuhan kasih untuk aku, Mommy-ku, dan kakak-kakakku dan tentu Ayahku sendiri. Bahkan saat aku menatap ke tanah itu, namun terlalu sulit untuk menerima bahwa Ayahku berada di sana, terkubur bermalam-malam yang lalu.

I can’t believe I can’t see him again. Like he never gone. I know he always there, somewhere arround the corner, whispering me something every time I am fooling arround. My father is there,clapping for every succes I achieve, and he also there tap my shoulder every time I fail. And yes he hug me when he cry. He is there, sitting in my shoulder, be my spectator for every step i take for life.

Namun terkadang, ketidakadaan fisiknya, pada satu titik menghancurkan dunia yang perlahan aku bangun untuk berpijak. Bukan tanah di hadapanku yang memukul hatiku menjadi biru, namun ketiadaannya dalam momen yang aku harap Ia ada di sana.

Ya, the most heartbreaking thing is when I unable to saw him with my bare eyes. Not only in special moment of my life, but also in my daily routines. When I climb the stairs, I wish I could met his slim smile like I used to met him every time. Or on the bus, when He held my head to his shoulder,when i am too busy to making a dream in my morning sleep.

Atau saat aku mendengar langkah seseorang mendekat, dan tiba-tiba aku menyadari aku tidak akan pernah mendengar bunyi langkah yang hanya Ayahku mampu ciptakan. Bahkan jaket kulit usang yang pekat dengan harum parfumnya bercampur dengan asap rokok tanpa filter yang selalu ia hisap.

I even almost crazy when I can no longer get mad at him every time his smell of cigarette caught in my nose. I remember how I used to imititate his signature for evil reason, and what am I gonna do now?

Tidak, kesedihan yang paling menyesakkan bukan saat aku menatap tanah di hadapanku, dan membayangkan ayahku terbujur di sana. Kesedihan yang paling membunuhku adalah saat aku tidak bisa melihatnya lagi ketika aku ingin melihatnya.

Yes, I am not stopping to try and try to be stronger. I am not crying like every night, but once in a while, I will break in tears and begging to see my father again. I don’t know what you call this thing, not letting go? You can label it like that, or you could just calm me down and saying, ‘ be patient, my dear’. I don’t know the word to put it right but I know for sure that someone who has been left behind always have my moment.

Momen saat aku ingin menangis hingga pernafasanku sesak. Saat aku ingin berteriak atau terdiam dalam perih. Momen dimana aku akan kembali menolak kenyataan dan mulai mempertanyakan kembali apakah aku cukup baik menjalankan tugasku sebagai seorang anak? Saat aku mulai mengutuk diriku sendiri atas apa yang telah dan tidak pernah kulakukan ketika Ayahku masih hidup.

You can call it pathetique. Or just being cynical to anyone that lef behind. You can curse that regret is useless and they have no right to bubbling about how to be left behind.   But you will understand someday, that moment is inevitable, that moment is a way for someone who left behind to survive.

Seperti saat Mommy-ku mengajakku mengunjungi makam kakekku, bertahun-tahun silam. Dia tidak pernah mengatakan apapun tentang dukanya, bagaimana ia hancur saat kehilangan ayahnya. Namun akhirnya aku mengerti, genggaman erat tangannya di lenganku, bagaimana ia sangat memintaku untuk menemaninya adalah suatu cara ia untuk melawan momen itu. Momen saat dia kembali menjadi patah dan hancur lagi tidak peduli berapa dekade telah terlewati.

May be someday, every Thursday afternoon I will ask my daughter to accompany me to my father graveyard. She won’t ever meet the man that tearing my world into pieces with his leaving, but eventually my daughter will love him, like how i love my grand father. And she will know that blood is thick. We don’t need to met a close family in person to sense their existence because that kind of love only exist thickly between our blood. Because that kind of love which empowering our heart to stay close and warmth.

Aku menatap sekali lagi tanah di hadapanku, dan bunga yang telah layu di atasnya. Keponakanku yang baru berusia 4 tahun yang menancapkannya di sana beberapa saat yang lalu. Dia baru berusia 4 tahun namun tidak pernah berhenti meminta untuk diantarkan ke makam kakeknya. Dia tidak mengerti apa yang dilakukan kakeknya di bawah dunia sana, tapi jauh di lubuk hatinya dia merasakan kakeknya ada di sekitarnya.

It’s time to leave. The Sun already set, makes the orange ray to be the pitch black sky. There are stars in the bright black sky. The graveyard is quiet still, like this place is meant to be the most peace place in the earth. The wind blows softly, bring the loneliness back to it’s square. Hidden between the business of human life, and soon to be forgotten and once in while will be breaking like a lightning bolt.

Satu putaran kegiatan lagi, dan aku akan kembali, menangis sampai dadaku sakit. Merindukan kehadiran Ayahku, bahkan hanya untuk senyum tipis di bibirnya.

I love you, daddy and i miss you, like crazy. 


260913-060314

Comments

Popular Posts