Children and its Future

Bersama Adik-adik Sahabat dari SA Mandiri

"When we are children we seldom think of the future. This innocence leave us free to enjoy ourselves as few adults can. The day we fret about the future is the day we leave our childhood behind."
__Patrick Rothfuss, The Name of the Wind


Quote dari buku Patrick Rothfuss dalam buku bergenre fantasi, The Name of The Wind, cukup menggelitik common sense-ku. Apakah memang demikian? Saat kita kecil, kita hampir tidak pernah berfikir tentang masa depan, dan momen saat kita mulai memikirkan tentang masa depan, kita telah meninggalkan masa kanak-kanak kita. 

Dulu, saat aku anak-anak, aku memang hampir tidak pernah memikirkan masa depan. Otakku sibuk dipenuhi dengan permainan apa yang harus kumainkan berikutnya, alur cerita seperti apa yang akan kugunakan untuk permainan bongkar pasangku, atau sekedar dengan siapa aku akan berpasangan untuk memainkan permainan "benteng" hari esok. Masa depan adalah hal yang sangat jauh, dan bahkan mungkin aku tidak memiliki definisi yang jelas tentang masa depan itu sendiri. 

Namun dengan tidak memikirkan masa depan, bukan berarti aku tidak memiliki cita-cita. Aku punya cita-cita, namun secepat musim sepatu roda berganti, demikian juga cita-citaku. Cita-cita terbentuk karena ada pertanyaan dari orang dewasa, dan dimana ada pertanyaan, sebagai naluri dasar manusia, aku menjawab. That's it cita-cita ada hanya untuk sebagai jawaban, bukan berasal dari proses kimia dan biologis serta pemikiran mendalam dari neuron-neuron di otakku.

Pengalamanku minggu lalu, bergabung dalam Jambore Sahabat Anak di Buperta Ragunan membuatku lebih banyak berfikir tentang masa kanak-kanak, terutama anak-anak kaum marginal. 

Jambore tersebut dalam rangka merayakan hari anak nasional dengan mengumpulkan hampir 1,000 anak dari kaum marginal di Jabodetabek, Bandung dan Jogja di bumi perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan. Di Jambore tersebut anak-anak tersebut bermain bersama, workshop, dan dihibur oleh panggung gembira. Bersama dengan 1,000 anak, diundang sekitar 500 kakak-kakak pendamping dari segala latar belakang, mahasiswa, profesional muda sampai ibu rumah tangga. 

Look How He Sleep, He is Just a Child anyway
Kaum Marginal. Sepertinya akhir-akhir ini media lebih menyukai menggunakan kata-kata kaum marginal untuk mendeskripsikan masyarakat yang miskin, terpinggirkan, atau berpendapatan rendah. Pengertian kaum marginal adalah kaum pinggiran, kaum miskin, indigo. Menurut Paolo Freire, kaum marjinal dibedakan menjadi dua kelompok yang jarang mendapat perhatian dalam hal pendidikan. Pertama penyandang cacat, Kedua, anak-anak jalanan, kaum miskin yang sudah terbiasa dengan kekerasan.

Untuk Jambore Sahabat Anak, turut mengundang kedua kelompok kaum marjinal tersebut, namun dengan peserta utamanya adalah untuk kelompok kedua.

Dinas Sosial DKI Jakarta mencatat di Maret 2013 terdapat 7,300 anak jalanan di Jakarta, sementara peserta dari Jambore hanya dibatasi 1,000 anak dari berbagai wilayah. Jambore tersebut diselenggarakan selama 2 hari, yaitu tanggal 24-25 Agustus 2013. Namun bagi adik-adik kecil peserta Jambore, jambore itu adalah event tahunan yang sangat dinantikan oleh mereka. Pesertanya pun dipilih dengan hati-hati, dan pertimbangan khusus dari berbagai sekolah-sekolah mandiri, dan bimbingan belajar yang tersebar di daerah Jabodetabek, Bandung dan Jogja.

Bahkan karena sangat excited, adik-adik tersebut tidak tidur di malam sebelum keberangkatan mereka menuju Jambore. Sampai dengan pukul 3 pagi mereka terus bertanya kepada kakak-kakak pendamping jam brapa bus akan menjemput mereka. Kebetulan, malam sebelum keberangkatan mereka menginap terlebih dahulu di pos-pos penjemputan.

Selama di bus menuju Buperta, anak-anak itu bernyanyi dengan riang. Beberapa dari mereka membawa alat musik yang biasa mereka gunakan untuk mengamen. Seperti tidak ada tanda-tanda bahwa mereka tidak tidur semalaman, mereka tertawa, bernyanyi, saling menggoda satu sama lain, sementara kakak-kakak pendampingnya tertidur di bangku keras Kopaja. Ya, Kopaja. Terlalu naif memang jika awalnya aku mengharapkan bus yang akan mengangkut kami adalah Bus, meskipun tanpa AC, tapi tetap bus bukan Kopaja. Aku tidak protes, maupun mengeluh, namun it is quite surprising me. 

Tapi saat melihat keceriaan mereka, pembicaraan ringan antar mereka, Kopaja merupakan satu dari sekian banyak transportasi. Mereka melihat bus adalah alat transportasi, tidak sedikitpun terlintas dalam pikiran mereka bahwa alat transportasi adalah suatu benda yang bergerak dengan dilengkapi AC, kursi empuk, lantai bersih, plus musik. Alat transportasi adalah benda dengan mesin dan ban yang bisa membantu mereka untuk berpindah tempat. That's it. Disitulah aku mulai menyadari bahwa aku bisa banyak belajar dari mereka, melihat suatu benda dari fungsinya, bukan atribut yang melekat pada benda tersebut. Darisitulah aku menguatkan niat, dan berusaha dengan susah payah melawan kantukku agar aku tidak kalah ceria dengan mereka (nb: dengan menulis ini tidak berarti aku tidak pernah naik kopaja).

Sesampai di tempat camp, aku diberi tugas untuk mendamping 2 adik perempuan masing-masing berusia 9 tahun. Sebagai pendamping aku bertanggung jawab untuk membantu segala keperluan mereka selama di camp, menyediakan makanan, mendampingi ke toilet, bermain games bersama mereka, atau sekedar hadir di samping mereka saat workshop. 

Salah satu Workshop di Camp
Pelajaran kedua hadir saat kebutuhan dasarku sebagai manusia harus dipenuhi, mandi. Mengantarkan mereka ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri, aku diingatkan kembali pada kenyataan bahwa kondisi kamar mandi tempat perkemahan selalu menyedihkan. Sangat menyedihkan bahkan. Terakhir kali aku camp adalah saat mahasiswa (I won't mention, what year it is), dan hal yang paling aku benci adalah keberadaan kamar mandinya. Sampai kemarin, aku masih membenci aktivitas mandi di bumi perkemahan.

Namun dengan kenyataan kamar mandi yang super bau, kotor, gelap, dan kekeringan, aku tidak melihat para adikku surut diri. Mereka melihat kenyataan itu, tapi tidak membuat mereka mundur dan memilih tidak mandi (seperti aku). Sekali lagi, dengan ceria mereka bernyanyi bersama, membasahi tubuh mereka dengan sumber daya air yang terbatas kemudian dengan bahagia membersihkan rambut mereka dengan shampoo. Rupanya shampoo adalah salah satu sumber daya yang terbatas dalam hidup mereka. 

Penderitaanku dengan kamar mandi tidak berakhir di situ. Setelah malam sebelumnya aku memilih mandi parfum, namun keesokan harinya aku harus mandi demi kesehatan orang-orang di sekitarku, dan diriku sendiri. Dengan peran yang berbalik, adik-adikku mengantarkan aku untuk pergi ke bilik darurat yang sengaja dibangun panitia untuk kamar mandi peserta dan pendamping. 

By mean I said bilik darurat adalah rangkaian bambu, dengan terpal sebagai pembatas, tanpa handle, maupun atap. Dijaga oleh mereka, aku mandi dengan super kilat dan ketika membasuh muka, aku baru sadar bahwa air yang mengalir penuh dengan pasir. Kalau awalnya tubuhku penuh dengan daki dan debu, setelah mandi tubuhku jadi penuh dengan pasir. Trade off yang menarik bukan?

Aku sungguh-sungguh saat mengatakan aku banyak belajar dari mereka, daripada mereka belajar dari aku. Permasalahan ketiga adalah masalah makanan. Sebagai Pescetarianism, sangat mustahil bagiku untuk mendapatkan makanan yang bisa kumakan di camp. Seluruh menu makanan yang dibagikan adalah segala tentang ayam. Kare ayam, ayam goreng, ayam lada hitam, nugget ayam dan segala variasinya. Rupanya, hal yang sama juga dirasakan oleh adik-adik itu.

Menarik, karena ketika melihat menu makanan yang dibuat sevariatif mungkin, tetap makanan yang mereka pilih adalah yang mereka kenali, bahkan nugget pun sebagian dari mereka menolak.Mereka tidak ingin mencoba makanan yang belum pernah mereka kenali, rupanya jiwa kuliner mereka belum terbentuk. Mereka masih melihat makanan dari fungsinya, bukan sebagai penikmat rasa, pemuas ego, atau memenuhi jiwa adventure mereka. Aku tidak mengetahui penyebab hal itu, namun sejauh yang aku ingat saat anak-anak, aku selalu tertantang jika melihat jenis makanan baru terutama yang bentuknya menarik. Bahkan aku melihat makanan dari sisi bentuknya, estetiknya, baru kemudian rasanya. Sementara bagi mereka, rasa adalah nomor sekian, yang penting perut mereka terisi terlebih dahulu.

Oke, aku tahu seharusnya aku tahu hal ini. In fact aku tahu, namun aku baru benar-benar menyadari hal itu. Aku hampir tidak menyentuh makananku karena selain tidak ada yang bisa kumakan, nasi yang ada terasa belum matang, alhasil 2 malam berturut-turut aku menenggak aspirin karena migren dan masuk angin :(

Begitu banyak hal yang aku pelajari dari mereka, namun yang paling penting dari semua adalah saat aku mengamati bagaimana mindset mereka. Mengapa di awal tulisan aku mengangkat tema tentang masa depan, karena rupanya masa depan adalah salah satu hal yang harus mereka pikirkan mulai dari awal hidup mereka. 

Concern mereka bukan bagaimana cara menyusun masa depan mereka untuk meraih cita-cita, melainkan apakah mereka memiliki masa depan? 

Di salah satu workshop, mereka sedang diajarkan untuk cara membuat kopi. Salah satu pembicara menerangkan tentang kopi adalah komoditas ekspor Indonesia yang menduduki peringkat 3 dunia. Dia mencoba menanamkan betapa kopi sangat penting bagi kita, dan menceritakan bahwa dengan berjualan kopi akan sangat menguntungkan. 

"Dengan 1 sachet kopi seharga 500, kalian bisa menjual kopi seharga 3000, bayangkan berapa keuntungan kalian dengan berjualan kopi."

Salah satu anak, berusia 8 tahun, anak seorang penjual kopi kemudian menimpali, "Iya kalo laku, sehari aja dapet 20,000 udah alhamdulillah."

Salah Satu maskot favorit
Aku termenung, bukan karena bagaimana dia menimpali secara tidak sopan, melainkan sinisme yang terkandung di sana. Anak itu adalah kalau boleh kita sebut sebagai pelaku pasar dan hal yang sangat wajar kalau dia bisa berkomentar demikian.Usia 8 tahun, namun dia sudah menyadari bahwa dia tidak akan bisa beranjak dari hidupnya, selama dia masih di jalan menjual kopi.

Dia berusia 8 tahun, namun telah memikirkan masa depannya. Di usia itu, dia sudah mengetahui nilai dari sekeping uang dan sadar bahwa dia tidak memiliki banyak kesempatan untuk masa depannya. 

Salah satu adik yang kudampingi,dia memiliki cita-cita untuk menjadi pramugari. Kemudian aku bertanya tentang pelajaran favoritnya, dan bagaimana sistem dia belajar. Dengan tenang dia menjawab bahwa dia belajar hanya saat dia mengikuti sekolah mandiri. 

Karena kekurangajaran aku, aku bertanya bagaimana dia mengerjakan PR dan belajar di malam hari. Kemudian dia menjawab dengan tenang, (aku berani bertaruh, dia menatapku dengan matanya yang sangat dewasa,tidak ada tanda-tanda 9 tahun disana) "Kalau aku belajar dan mengerjakan PR di rumah, aku ga bisa sekolah lagi soalnya sepulang sekolah aku bantuin Ibu sampai shubuh jualan pecel lele." 

Skakmat. Rupanya, nasihat-nasihat klise sebagai orang dewasa untuk menyuruhnya rajin belajar agar cita-citanya tercapai adalah a big bull pile of sh*t. Aku sadar aku kalah jauh tentang pengalaman hidup dengan anak usia 9 tahun di hadapanku. Aku tidak mengerti nilai dari uang sebaik dia. Aku bahkan tidak akan tahu caranya bertahan hidup dalam dunia liar ketika aku tidak menemukan toilet yang bersih dan nasi yang matang. Aku bahkan tidak pernah mengkhawatirkan masa depanku sedini yang mereka lakukan.

Yang pasti, aku terdiam. Kehilangan kata dan aku sadar dia tidak butuh pelajaran apapun dari aku. Kehadiranku disana bukan sebagai guru tentang hidup, melainkan teman baru bagi dia. Kakak baru yang mengenalkan persahabatan tanpa mengenal usia, status, maupun pengalaman hidup.

Keberadaanku di sana adalah duta agar dia mengenal bahwa masyarakat Indonesia tidak mengenal lapisan di dalamnya. Tidak ada piramida ekonomi, tidak ada strata, yang ada hanyalah dua manusia yang menanggalkan identitas diri mereka untuk bermain, tertawa, menyanyi, tidur bahkan saling memeluk bersama. Aku jadi teringat salah satu quote favoritku dan mengamininya;

"(Kids) don't remember what you try to teach them. They remember what you are."
__Jim Henson, It's Not Easy Being Green: and Other things to Consider


Wajah-wajah Kakak Pendamping
Kembali ke quote di awal tulisan, lantas bagaimana kita menyebut anak marjinal? apakah mereka pantas disebut anak-anak? atau kita menyebutnya anak dewasa? karena meskipun masih berusia dibawah belasan tahun, mereka sudah mengkhawatirkan masa depan mereka, sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya (termasuk aku).

and then should I thanks to my parents? Terima kasih karena mereka memberiku cukup banyak 'kemewahan bermain' sehingga aku menikmati masaku sebagai anak-anak tanpa mengkhawatirkan masa depanku? 

atau pantaskah aku bersedih untuk mereka, mengingat mereka lebih mengetahui tentang hidup sebenarnya jauh lebih awal dari anak-anak pada umumnya? 

I can't decide it. There are no words can describe how I really feel that time. Yang pasti mengenal dan bersama mereka selama 2 hari penuh adalah keberuntungan luar biasa yang bisa aku dapatkan. Belajar dari mereka, kini aku kembali ke dasar, dengan melihat benda sebagai fungsinya kita akan lebih dari cukup hidup dengan baik di dunia ini. 

Info lebih lanjut tentang Jambore Sahabat Anak di sini

Comments

Popular Posts