A Mother, the Most Powerful Soul on Earth

Like a Rose


" Setiap 'ku mendengar kalimat
"Sayang, apa kabarmu?"
Sungguh remuk rasa hatiku
Buatmu harus bertanya"
Lagu Untukmu-Raisa



Pagi itu, saya kebagian tugas menjemput seorang tamu dari Jakarta di bandara Incheon. Seorang wanita sukses yang dulunya pernah bekerja sebagai pekerja migran. 

Saat saya akhirnya bertemu dengannya, wanita tersebut tidak lebih tinggi dari saya. Tubuhnya begitu kurus dengan baju batik dan jilbab warna ungu. Seoul masih berada di suhu kurang dari 10 derajat celcius di pagi hari, namun ia belum juga mengenakan jaketnya. 

Sesampai di mobil, ia membuka masker yang sebelumnya menutupi wajahnya. Saya tersenyum padanya, tidak bisa menghentikan diri untuk menghitung berapa umurnya. 

Meskipun saya memegang biodata tentangnya, saya mencoba mencocokkan apakah sesuai profil yang ada di atas kertas dengan wanita di hadapan saya. Sorot matanya yang sangat tajam dan garis-garis di wajahnya nampak seperti medali atas kerja keras selama hidupnya.

Sepanjang perjalanan, kami mengobrol. Tentang tempat ia tinggal di Indonesia, bisnis yang saat ini ia geluti dan masa ketika ia bekerja sebagai pekerja migran. Semua cerita yang keluar dari bibirnya adalah cerita netral. Ia menceritakan bagaimana kultur budaya negeri yang sempat menampungnya selama sekitar 8 tahun, dan membandingkan dengan negeri tempat saya tinggal saat ini.

Saya bersama beliau selama 3 hari berturut-turut. Menemani ia presentasi, sampai dengan belanja kosmetik di Myeongdong. Dari awal kami hanya bercerita se-membosankan seperti cuaca dingin di Seoul kemudian ia mulai menceritakan bagaimana ia bertekad untuk menjadi wanita mandiri.

Saat bekerja menjadi pekerja migran, Ia bertugas sebagai care taker seorang nenek di suatu keluarga. Keluarga terakhir yang menampungnya sangat baik padanya bahkan sampai dengan kepulangan ia ke Indonesia, mereka mengunjunginya.

Saya lupa tepatnya di tahun keberapa, saat itu Ia pulang ke Indonesia untuk cuti menghabiskan waktu bersama dengan suami dan anaknya. Di penghujung cuti, keluarga sang Nenek menanyakan kapan ia akan kembali. Saat itulah ia bertanya pada suaminya, apakah ia diizinkan untuk kembali ke negara jauh itu? Suaminya mengizinkannya.

Ia kembali bekerja, berpisah dengan anak dan suami yang ia cintai. Namun perlahan ia merasakan perubahan pada suaminya. SMS tidak pernah dijawab, telpon tak pernah diangkat hingga akhirnya ia bertanya pada putrinya yang saat itu masih berusia sekitar 10 tahunan keberadaan bapaknya.

Ya, seperti kisah yang terlalu sering kita dengarkan atau baca di headline koran-koran kelas dua, suaminya menghilang. Lari dengan wanita lain.

"Saat denger itu, Mba. Lutut saya gemetar rasanya dunia saya hancur. Semuanya gelap. Bahkan saya ga bisa nangis karena shock," Begitu Ibu tersebut menceritakan pada saya. "Selama berbulan-bulan saya ga bisa kerja, pikiran saya kalut.  Salah saya apa? kenapa ga ada angin ga ada hujan tiba-tiba suami saya selingkuh?"

Sekilas, saya melihat lapisan air mata menggenang di bola matanya. Bahkan hampir sewindu kejadian itu berlalu, luka itu masih di sana, dalam dan setiap ia membuka kenangan itu, luka itu kembali terbuka.

"Bahkan, keluarga Nenek sangat khawatir ke saya, setiap saat nanya 'kamu kenapa?', 'kamu mau pulang?' karena saya ga bisa kerja! Setelah beberapa bulan saya sadar, saya ga bisa kayak gini terus, saya punya anak yang harus saya biayai hidupnya, saya harus berubah."

Namun bukan berarti proses itu sangat mudah. Seperti ilham yang datang tiba-tiba. Tak dipungkiri, sempat terlintas dalam benak Ibu tersebut untuk mengakhiri hidupnya. Namun Ia memikirkan putrinya.

"Kalau orang pikir, pasangan suami istri setelah punya anak cintanya bakal turun, ga semua kayak gitu. Cinta saya ke suami saya masih sangat besar saat saya tahu ia selingkuh. Mba bisa bayangin gimana hati saya patah? Hidup saya ancur berkeping-keping. Saya bahkan ga inget hari dan jam."

Putrinya adalah satu-satunya alasan ia bertahan dan merubah hidupnya. Ia memutuskan untuk mengambil pendidikan formal di universitas terbuka. Tiap minggu, ia meminta izin kepada bossnya untuk mengambil kuliah. 

Jarak dari tempat ia tinggal ke ibu kota untuk menempuh pendidikan pun terbilang sangat jauh. 3.5 jam menggunakan bus. "Buru-buru naik kereta cepat, mba. Mana punya saya kemewahan  untuk itu."

Sembari mengambil kuliah, ia bertemu dengan ana-anak PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) dan mendapatkan banyak ide untuk mencari uang selain dari gaji dari keluarga nenek. 

Meskipun usia dia sudah tidak muda lagi, namun tidak menyurutkan semangat ia terus belajar. Bahkan itu ia jadikan kekuatan untuk bisa memasuki komunitas mahasiswa maupun pekerja migran secara bersamaan. 

Tidak butuh waktu lama, Ia kembali ke Indonesia for good. Usaha awalnya adalah menjadi laku pandai kemudian ia mendaftar agen distributor dari merk oli, jasa pengiriman dan hebatnya distributor ban merk lokal negara tempat ia mengadu nasib sebelumnya. Sekarang, Ia menjadi penggerak ekonomi di desa ia berada dengan jaringan supermarket, bengkel dan jasa perbankan.

Saya terusik bertanya padanya, "Sampai saat ini, Ibu ga pernah kontak lagi sama mantan suami Ibu?"

Tersenyum getir, ia menjawab : "Saya cari mba, sampai ketemu saya ajukan cerai. Sampai saat ini, saya tahu dimana ia tinggal dan siapa 'gendakannya'. Saya kenal kok cewenya."

Saya mengangguk dan kekaguman saya akan Ibu itu naik berkali-kali lipat. 

"Mba, jangan trauma denger cerita saya. Ga semua laki-laki kayak gitu, saya aja yang apes. Tapi Allah ga kasih ujian yang kita ga bisa tanggung. Kalau ga ada kejadian itu, mungkin saya masih disana, hidup jauh dari anak saya dan nyaman dengan hidup yang gitu-gitu aja."

I know, too many I read about these cliche stories. Yet no matter how many times I read it, my heart still ache. Tidak ada kata numb setiap kali mendengar perjuangan seorang Ibu tunggal untuk anak-anaknya. 

Orang bilang bahwa wanita seperti bunga mawar. Begitu Indah dan kuat. Duri dalam batangnya merupakan badge berapa banyak luka kehidupan menghantamnya. Namun Ia tetap berbunga, menjadi tercantik diantara bunga lainnya.

"Menjadi Ibu tunggal, tidak hanya tentang mencari nafkah untuk anak saya. Tapi saya juga harus jadi bapak sekaligus Ibu secara bergantian. Saya bisa sangat keras terkait aturan pada anak saya, namun saya juga melembut dalam hal kasih sayang."

Ia juga menceritakan bagaimana stigma tentang janda yang masih begitu buruk di masyarakat. Terutama desa tempat ia tinggal. Namun yang paling berat adalah bagaimana menggantikan sosok ayah di hati anaknya.

Meskipun luka karena laki-laki begitu dalam di hatinya, Ia tak ingin anaknya memiliki stigma negatif tentang laki-laki. Apalagi anaknya perempuan. Karena itu ia berusaha menahan diri dalam-dalam menelan lukanya bahkan kebencian terhadap mantan suaminya, terutama di hadapan anaknya. Ia tidak ingin anaknya juga membenci ayahnya, apalagi umat laki-laki pada umumnya.

"Saya memaafkan mantan suami saya,mba. Demi anak saya, demi ketenangan batin saya."

Saat itulah saya ingin ikut menangis dengan si Ibu. Bagaimana mungkin ia memaafkan setelah ditelantarkan tanpa berita dan sebab? Bagaimana ia tidak menaruh dendam pada laki-laki yang telah menghancurkan seluruh hidupnya?

"Kalau saya, saya ga mau mendengar laki-laki itu ada di muka bumi ini lagi, Bu." Kata saya.

Ia tersenyum, sambil menepuk tangan saya. "Nanti kalau mba punya anak akan ngerti. Bahkan kalau bisa ngasih bumi baru buat seorang anak, seorang Ibu akan lakukan itu."

Saya mengangguk, mengerti dan merasa sangat berterima kasih. Seandainya saya punya waktu panjang, saya pasti berkenan untuk membuat mini biografi sang Ibu itu. Dan untuk alasan itu pula, apalagi saat mendengar lagu Raisa, saya merasa berhutang pada dunia untuk menceritakan tentang kekuatan seorang Ibu di laman blog ini.

Saat saya akhirnya melepas ia kembali ke Jakarta, saya memeluknya, begitu erat di bandara Incheon. Saya menatap senyum manis yang ia lempar kepada saya, mata yang begitu tajam dan telah meneteskan begitu banyak air mata, garis-garis kerutan di ujung mata yang menandakan betapa berat hidup yang ia lalui.

Ia masih berusia 38 tahun, tidak begitu jauh dari usia saya. Ia memiliki putri berusia 16 tahun dan hebatnya, ia memiliki pengalaman hidup seperti 60 tahun lamanya.

Terima kasih Ibu, atas pelajaran hidup yang telah dibagikan pada saya. We never know how strong we are until strong is the only option we have!

"every night her thoughts wighed
heavily on her soul but every morning 
she would get up to fight another day.
every night she survived."
r.h.sin




Comments

Popular Posts